
Tempat ini biasa saja, taman
kecil yang lama ditinggalkan dan tanpa sengaja menjadi taman rahasia kita. “Ini
tempatku menggugat hidup” katamu satu hari saat bulan bersinar sedikit
kemerahan.
Seperti matamu malam itu. “Semua luka yang tak bisa kutorehkan, kubuang disini.”
Seperti matamu malam itu. “Semua luka yang tak bisa kutorehkan, kubuang disini.”
Aku tercenung. Tak
sungguh-sungguh mengerti maksud katamu. Tapi aku mengerti butiran kaca yang
selalu mengalir darimu tiap malam. Indah. Kataku dalam hati. Air matamu
memantulkan cahaya bulan yang kadang kebiruan. Entah sejak kapan aku mulai
larut dengan semua itu.
Ini taman rahasia kita. Sebuah
petak kecil di sudut kota. Ada ayunan mungil di sini. Dengan karat yang sudah
tak berbilang. Dengan jerit engselnya yang tak terelakkan. Tempatku melempar asa. Terbang dari bumi. Mungkin dalam bentuk
yang berbeda kita sama. Menyadari penatnya kehidupan manusia.
Lama kita tak saling menyadari.
Hingga entah kapan aku mulai tahu, di bangku kecil dekat semak mawar kau
menggurat sesuatu. Pada tanah yang masih basah setelah hujan tadi sore. Kupikir
kau hanya orang yang tak sengaja hadir di taman yang awalnya kukira milikku saja. Kau disana dengan sebilah ranting kecil. Membelangi aku yang baru sadar tentang hadirmu. Bermain dengan tanah yang masih mudah
diarahkan. Dan perlahan aku mulai menyadari bahwa keberadaan kita disini satu alasan :
pergi dari padatnya perasaan manusia yang berpilin memenuhi udara. Kita sama
meski tampak berbeda. Pencinta udara murni. Wangi alam. Sunyi malam. Kita sama.
Meski banyak yang menjadikan kita berbeda.
Waktu berlalu. Saat entah kapan
aku mulai meninggalkan cerita-cerita tentang angkasa. Kau masih memantulkan
cahaya bulan dengan airmata. Hanya saja aku menyadari satu hal : banyak yang
semakin indah di taman ini. Tanah yang dulu kau gurat sambil memunggungiku,
kukira hanya sekedar mengungkapkan airmata dengan tongkat kecil yang kau pakai seperti
para pelukis mencipta dunianya. Ada makhluk hidup lain disana, menari seiring
hembus angin. Mencerahkan taman yang tadinya hanya berupa suram. Kelabu. Hanya ayunan karat, bangku kayu reyot, dan semak penggigit. Kini taman ini tak lagi satu warna. Bunga bermekaran di sudut kau menggurat tanah dengan wajah terluka. Seperti pelangi yang jatuh ke bumi.
Di sudut lain taman. Tempatmu
menatap tanah sambil bersandar pada sepasang tangan yang kau topang dengan kaki
yang menjejak. Meski sesekali bukan tanah yang kau tatap, tapi langit. Sambil
menyandarkan tubuh ke bangku yang mulai berkeriyut. Meratap nasib. Memaki udara
yang semakin liar dengan nafsu yang menggeliat-geliat. Ada satu waktu. Entah
berapa lama sejak detik mulai berlari, atau jam terengah-engah mengejar menit
yang berjalan. Aku duduk disana. Pada hari saat aku tak bisa terbang ke langit
tinggi. Ada cat yang masih basah di ayunan yang biasa menerbangkan anganku
tinggi. Aku duduk di singgasanamu. Kursi kayu yang kutahu sudah banyak dimakan
rayap dari ratapannya. Tapi hari itu, kursi tamanmu, singgasanamu, diam. Tak
bersuara meski hanya lirih mungil. Warnanya pun tak lagi kayu pudar. Kau
memolesnya. Mungkin pada hari dimana aku terlalu larut dalam imaji. Atau saat
aku terlalu disibukkan dengan dunia di luar taman sana. Kau memolesnya dengan warna
yang hampir serupa. Kau memolesnya, dan mengganti beberapa bagiannya. Kau
menguatkannya. Singgasanamu melabuh segala rapuh. Yang kini tampak kembali teguh.
Ini taman rahasia kita. Satu
tempat kecil di sudut kota yang hanya kita pengunjungnya. Ini taman rahasia
kita. Tempat kita mengistirahatkan diri dari segala bau obsesi dan nafsu
manusia. Ini taman rahasia kita. Tempatmu membuang segala luka, dan tempatku
memulai imaji tak berbatas.
Ini taman rahasia kita. Tempatmu
selalu menggugat hidup. Ini taman kita, tempatku mengerti sesuatu karena kamu :
Tak masalah menggugat hidup. Tak masalah merutuk manusia. Dan di taman ini kau
merangkai sesuatu. Yang indahnya juga tak berbilang. Kau merutuk, kau
menggugat. Namun kau juga membangun hal lainnya.
Ini taman rahasia kita. Satu
tempat di sudut kota. Yang kini tak lagi sesuram aku pertama tiba. Ini taman rahasia
kita. Meski tak pernah berniat tuk merahasiakannya. Ini taman rahasia kita.
Karena tak pernah ada yang tiba selain kita. Ini taman kita, sebab kita sama.
Membutuhkannya setelah lelah dari pekatnya nafsu manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Show your opinion here. #BeraniNulis.. ^o^