Selasa, 29 Mei 2012

Something We Call "BestFriend"


Dihadapkan pada fakta yang berbeda. Aku terkejut. tentu saja. Tapi ya, semakin dekat mungkin nanti akan semakin banyak fakta kontra yang terbuka. Lalu, entah kapan, akan saling bertanya-tanya. Kita rekat, tentu saja karena perbedaan yang jelas-jelas ada. Tapi memang, seringkali kita tak tahu seberapa besar jarak yang mesti direkatkan. Asal saling bicara, kupikir semuanya akan mudah. Asal saling terbuka, kupikir itu sederhana. Ya, bicara. Menyatakan apa yang memang ingin dinyatakan, apa adanya. Ini tak sekedar bagaimana kamu, siapa kamu, atau apa kabar dirimu. Bahkan kata-kata sederhana yang kadang ditanyakan seperti basa-basi. Kau mungkin tak tahu, aku melihatmu bahkan dengan mata terpejam. Aku mengamati, bahkan saat aku tak ada. Hati kita beresonansi, meski tak kau sadari.
Andai setiap malam, langit mengirimkan banyak buraq untuk mengangkut do’a manusia sepanjang hari ke langit. Mungkin butuh satu buraq khusus untuk mengangkut do’a yang kuuntai sepanjang hari untukmu.
Kita sama. Meski aku tahu kita juga berbeda. Sebab manusia tak pernah sungguh identik satu dengan lainnya. Seiring waktu, tak aneh jika suatu hari kita merasa dekat, dan asing di waktu yang sama. Tak masalah, sungguh, tak masalah. Bukankah kita hanya perlu lebih dekat lagi? Agar pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita berjarak dapat terjawab. Mungkin akan ada kesalahan-kesalahan tak termaafkan yang muncul dari masa lalu. Tapi poin utamanya bukan itu. Kita belajar tentang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hingga kesalahan tak termaafkan itu kikis, meninggalkan kenangan tak terulang dan pelajaran berharga, juga kita yang lebih baik dari waktu sebelumnya.

Untuk Pemilik Langit



“Runa…” sapanya lembut, “Ada kondisi dimana tiba-tiba kita merasa hampa, gamang, bosan, entah karena apa. rindu, entah kepada siapa.”
aku diam.
“ada satu tempat di hati manusia” lanjutnya, “yang hanya bisa diisi oleh-Nya. Saat kita merasa tak nyaman karena sesuatu yang tak kita pahami, cobalah periksa tempat itu. Adakah Allah tengah disana?”
Kalimat itu sederhana saja. Tanpa unsur menggurui rasanya. Ya, kalimat sederhana dari murabbiyah pertamaku, 7 tahun lalu. Yang selalu saja berputar di kepalaku saat jenuh itu mulai menyapa. Saat kebosanan mulai singgah. Saat akal mencari-cari pembenaran dunia tentang sebab-sebab kejenuhan itu ada.
kalimat itu sederhana, tapi entah sudah berapa kali berhasil menyentil ego yang sok meraja di dalam diri.
Adakah Allah di hatimu?
Allah….
Biarkan aku menyapamu malam ini. Ada setumpuk tugas yang menuntutku untuk tawazun di sampingku. Tapi biarkan aku sejenak berkesah dengan-Mu meski tak hanya aku dan Kamu yang kan tahu
:)

Selasa, 15 Mei 2012

Kontribusi

Allah itu yang memilih.
Tapi sebagai hamba-Nya bukannya lebih baik kalo kita berusaha buat bisa terpilih.

Mungkin ada waktu, dimana saat kita telah terpilih, kita merasa banyak orang yang lebih baik dari kita tidak terpilih.
Mungkin Allah tahu, kalau kita bisa memberi yang terbaik.

Kontribusi penuh saat kita telah berdiri di tempat yang "dipilihkan".

Kontribusi, mungkin...
begitu cara kita menghargai diri kita sendiri sebagai pemain.
menghargai Allah yang telah memilih kita di tempat ini.
Dan juga menghargai mereka yang belum terpilih dengan menghilangkan tanda tanya yang mungkin sempat terlintas di hati mereka.