Rabu, 27 Agustus 2014

This Is (not) a Game

Selamat malam,
seseorang berkata bahwa hidup ini seperti sebuah permainan.
Yang lain bilang nikmati saja, yang lainnya bilang tapaki setiap levelnya.

Tapi, ada yang berbeda tentang hidup dan game.
Dalam kehidupan, kita tak bisa me-restart semau kita. Jangankan re-start, undo saja tak mungkin. Satu kata yang dikenal di kehidupan jika kita salah adalah : perbaiki. Urusan dimaafkan atau tidak, mungkin bisa belakangan.

Selain itu, tak ada manual book, atau cara bermain yang jelas dalam kehidupan ini. Indikator kenaikan level pun tak ada, seperti berapa poin yang harus dikumpulkan, treasure yang mesti ditemukan, misi yang harus dijalankan. Tidak ada.
Life point, health point, pencapaian level, job description pun tak ada.
Satu hal yang pasti ada : Game Over. Dan itupun tidak jelas kapannya.

Setiap orang yang tetap bermain, beberapa di antaranya akan menemukan tujuannya. Level tertinggi yang mesti dicapai.
Tapi progres pencapaiannya? Berapa level dia meningkat? Siapa yang tahu.

Tapi dalam permainan kehidupan, kita bisa setiap saat kembali ke level 1 bahkan 0.  Bisa turun level kapan saja, bahkan tanpa tahu berapa level yang hilang, karena tak ada penaikan level yang meningkat secara stabil disini. Bahkan mereka yang telah menemukan tujuan, bisa saja ragu dan mengira hal tersebut semu. Lalu kembali ke titik satu atau nol.

Dalam permainan ini kita hanya tahu 2 titik : mula dan akhir. Tapi seberapa banyak level yang mesti dilewati, tak ada yang tahu. Dan lagi, tak ada titik aman pertama, apalagi berikutnya.

Setiap orang yang melihat level puncaknya hanya perlu menuju kesana. Caranya bagaimana? Itu terserah setiap pemain.
Indikatornya jelas : mencapai level tertinggi. Sudah.

Tapi selebihnya tak ada apa-apa.
Hidup ini hanya seperti tinggal di kota pertukaran bagi mereka yang tak menemukan tujuan. Terdiam, atau berputar di tempat yang sama.

Baiklah, aku mengantuk.
Dalam bermain pun kita harus tetap baik.
Jadi, selamat malam...
Aku sudah sangat mengantuk malam ini~

Sabtu, 23 Agustus 2014

After Release

Hei, selamat malam...
Waktu menunjukkan 49 menit lagi menuju pergantian hari saat aku mulai membariskan kata di layar ponsel.
Apa kabarmu? Semoga Allah masih menaungi jejak kita.

Saat kita berharap sesuatu. Meminta dengan ketulusan hati tanpa ada niat yang terselip, Allah tak kan segan memberi. Meski terkadang aku takut pemberian adalah ujian. Tapi, daripada merasa takut, sepertinya bersyukur akan lebih baik.

Kemarin aku memutuskan untuk keluar dari tempatku. Kembali ke sebuah tempat yang sepertinya telah cukup lama tak kusapa.
Allah memberi, saat kita mulai melangkah. Bukan sekedar menunggu.

Dan ya, ada dua hal yang kudapat hari itu.
Dua hal yang seketika melepas beban yang beberapa hari ini bertengger di dada. Ringan sekali. Bahagia itu hadir saat kita telah mampu 'membebaskan' pikir kita sendiri.
Belajar memberikan sayap pada tanda tanya, agar ia bebas mencari jawabnya.
Belajar memberikan sayap pada penantian, agar ia bisa bebas melihat indahnya sekitar.

Malam tadi aku tidur dengan damainya. Dengan mudah, dan tanpa mimpi. Aku tidur dengan pegal di sekujur tubuh, dan terbangun dengan ringan, seakan ada sayap yang tumbuh di bahuku.
Kau tahu, bagiku itu anugrah luar biasa. Melewatkan malam dengan singkat, tidur lelap, dan bangun sesuai rencana.

Kita hanya perlu jujur pada diri sendiri kepada tempat yang tepat, berdoa pada Sang Pengabul Doa, bergerak, dan bersyukur.
Serta menikmati penantian, tak hanya sekedar bersabar.

Dan pada akhirnya, hanya pada Pemilik Semesta aku pantas berterima kasih.
Untuk kemampuan melangkahkan kaki, pertemuan dengan orang-orang hebat, dan terbukanya hati.

Jadi, selamat malam.
Semoga tapakmu selalu dinaungi petunjuknya~
:)

Rabu, 13 Agustus 2014

Pada Siapa?

M : Hei, kau tahu, aku rindu....
R : pada siapa?
M : entahlah. Aku hanya merasa rindu sesuatu, atau mungkin seseorang...
R : Kau butuh teman bicara, atau mungkin Tuhanmu memanggil. Kapan terakhir kali kau sungguh-sungguh bicara dengannya?
M : sungguh-sungguh bicara?
R : ya. Bicara dengan seluruh hatimu. Seperti orang yang bicara dengan kekasihnya.

Senin, 11 Agustus 2014

Bicara

A : hei, aku kembali.
B : kemana?
A : ke kamu, tentu saja. Kamu kan yang sekarang ada di hadapanku. Siapa lagi?
B : untuk apa?
A : bicara.
B : tentang apa?
A : apapun, kamu mau berbicara?
B : tadi kau yang mau bicara, kenapa jadi aku?
A : hahha. Aku bosan mendengar suaraku. Jadi sekarang aku mau mendengarmu.
B : mendengarku?
A : ya.
B : tidak mungkin.
A : kenapa?
B : aku dan kamu adalah satu hal yang sama. Segalanya sama saat kita bicara.
A : tapi aku nyaman. Apa tak boleh?
B : boleh saja. Tapi....
A : ya?
B : kenapa harus aku?
A : tentu saja karena itu kamu.
B : bagaimana dengan yang lain? Apa kau tak punya tempat bicara yang lain?
A : ada.
B : lalu kenapa harus aku?
A : aku bicara pada mereka kok. Hanya saja... itu ketika aku memang siap. mereka... menakutkan.
B : bagaimana bisa? Memang aku tidak?
A : kamu jauh lebih menakutkan. Tapi dalam hal yang berbeda.
B : bedanya?
A : mereka selalu tampak baik. Itu menyeramkan.
B : mereka baik, lalu kenapa menyeramkan?
A : mereka baik, tapi mereka berfikir, lalu berprasangka. Mereka meng-iya-kan, tapi membantah dalam hati. Selain itu, aku mengganggu mereka.
B : darimana kau tahu?
A : aku merasa. Cara mereka menatap, gerak tubuh, dan segalanya.
B : kalau begitu kau sama dengan mereka.
A : bagian mananya?
B : berprasangka. Kau berprasangka pada mereka.
A : ya... mungkin.
B : lalu?
A : apalagi?
B : kenapa aku juga menyeramkan? Karena aku berprasangka?
A : tidak.
B : lalu?
A : kamu terlalu jujur, dan kadang menyakitkan. Kamu mengatakan sesuatu yang tak mau kukatakan pada diri sendiri. Kamu... terlalu tepat sasaran.
B : hahha. Lalu maumu apa?
A : biasa saja.
B : biasa? Bagaimana?
A : biasa saja seperti kamu adanya...
B : aku tak paham. Lalu kenapa kamu terus bicara padaku?
A : karena kamu tulus. Kamu tak berprasangka. Kamu mengatakan hal yang sama dengan yang kamu pikirkan. Meski kadang itu merepotkan. Kamu tak berpura-pura.
B : darimana kau tahu?
A : aku merasakannya.
B : itu tidak logis. Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu yang sedikit logis. Seperti psikolog misalnya.
A : aku tidak tahu. Aku bukan psikolog, jadi aku tidak tahu. Aku hanya bisa merasa.
B : kamu terlalu absurd.
A : aku  tahu, karena itu aku tak banyak bicara begini ke orang lain.
B : ....
A : terimakasih
B : dengan alasan?
A : ya. Terimakasih untuk mendengar dan bersabar. Untuk selalu rela dan selalu ada. Untuk selalu mau jadi teman bicara.
B : kau bisa gila...
A : kenapa?
B : karena aku dan kamu adalah satu hal yang sama.
A : tenang saja, suatu hari akan ada seseorang di luar sana yang sama sepertimu.
B : kamu harus belajar menerima orang lain.
A : ya, aku belajar. Aku menerima mereka sejauh yang mereka mampu dalam menerimaku.
B : kau tahu, kau egois.
A : entahlah. Aku tidak paham tentang kata itu. Bisa kau jelaskan?
B : mungkin lain kali.
A : baiklah~

Minggu, 10 Agustus 2014

Rindu

A : aku merindukanmu
B : bagaimana mungkin?
A : kenapa tidak mungkin?
B : kita tak pernah saling bertemu, kita tak saling mengenal, bagaimana bisa rindu?
A : sebab aku rindu
B : ya, tapi bagaimana bisa?
A : apakah segalanya harus beralasan?
B : tak selalu, tapi...
A : sebab aku rindu. Itu saja. Mungkin karena kita satu resonansi. Mungkin. Aku tak tahu juga, karena kamu yang tahu...
B : bagaimana kamu tahu kita satu resonansi?
A : hanya 'mungkin', aku tak tahu. Kalau kamu juga rindu aku, mungkin resonansi kita benar sama.
B : bagaimana jika tidak?
A : apa itu masalah?
B : entahlah. Apa itu masalah bagimu? Rindumu tak berbalas kan?
A : lalu kenapa? Itu rasamu. Aku tak punya hak atasnya. Terserah saja. Yang aku tahu, ya rasaku. Jadi tak apa.
B : kamu masih akan tetap rindu aku?
A : ya, itu tak berhubungan.
B : bagaimana kalau itu menggangguku?
A : apanya?
B : rindumu, dan caramu mengungkapkannya.
A : kalau begitu aku akan diam.
B : tapi, rindumu akan terus ada?
A : lalu kenapa? Tak masalah. Dia akan hilang dengan  sendirinya.
B : bukannya malah semakin nembuncah?
A : ya, kalau kita satu resonansi.
B : itu lagi?
A : kau mau bagaimana?
B : aku hanya tak paham.
A : rinduku tak perlu alasan. Dia akan padam kalau kita berbeda jalan, tapi akan bertahan jika kita memang satu resonansi, meski tak pernah terkata.
B : kamu terlalu rumit.
A : tidak juga, kamu yang terlalu beranggapan bahwa segalanya mesti beralasan.
B : memang apalagi yang tak perlu alasan?
A : banyak. Terimakasih, bahagia, beberapa airmata, rindu, dan... mungkin cinta?
B : kau terlalu perasa.
A : apa itu masalah?
B : sedikit, tapi lebih banyak 'aneh'.
A : hahha, kau tak dapat melihat segalanya dengan mata.
B : tapi kau bisa tenggelam dan buta karena rasamu sendiri.
A : ya, aku tahu. Sebab itu aku butuh kamu.