Senin, 26 Mei 2014

Sahabat Kecil

Ada banyak hal yang berkelindan dalam memori. Kita menapak masa dengan berupa-rupa cara. Malam ini pikir kita berkelana, bukan ke masa nanti, tapi ke masa yang pernah dilewati. Serpih memori punya caranya buat kita merasa berharga. Atau dalam kondisi yang sama menemukan mutiara hikmah yang terselpi di antaranya. Sebab memori tak kan ada yang mampu kita sebut 'percuma'.

Kita berjalan di atas tapak misteri. Merangkai hidup kita jadi bentuk yang kini dengannya kita dikenal oleh manusia. Tak lekang memori bertanya, 'darimana kita dapat ini semua?' Sebab manusia tak ada yang seutuhnya menjadi dirinya. Kita, dan siapapun yang kini menapak di atas bumi adalah adonan pengalaman. Percampuran dari nasihat, kritikan, doktrin, ujian dan mungkin bully yang pernah kita dapat di dalam perjalanannya.

Kemudian memori berkelana, tentang sosok yang selalu ada dan menguatkan semasa kita masih terlampau pemula menghadapi dunia. Ada ujian sederhana yang buat kita jeri. Ada hadiah biasa yang terasa sebagai potongan syurga yang jatuh ke bumi. Lalu ada....
Sepasang tangan yang menggenggam jemari, bahu yang rela disandari.
Aku berhenti sejenak,
Apa benar ada?

Memoriku mengembara, mencari jemari kecil yang menyimpan tangan kecilku dalam genggamannya. Mencari tangan mungil yang mengusap air mata duka. Mencari wajah sumringah mungil yang hadir di muka.
Tak ada.
Aku mencari sekali lagi dan tetap tak ada.
Sekali lagi, dan...
Tak ada tangan mungil yang kutemukan. Namun ada tangan besar yang menghangatkan, yang menangkupkan sepasang tanganku dalam genggamnya. Yang mengangkatku ke bahu untuk mengenalkan angkasa juga mimpi untuk masa yang kan tiba. Yang mengajarkanku memproduktifkan duka. Menemukan hikmah di antara segalanya. Bahagia karena tersenyum, dan bukan menunggu bahagia untuk tersenyum.

Dalam kelana memoriku aku tak menemukan teman kecil tempatku bernaung. Tapi sebatang kayu dalam genggaman dan berak-rak buku yang menemani lelapku. Menyimpan airmata dalam aksara, menyerap airmata dalam lembar-lembar penuh kata. Hingga akhirnya segalanya terasa begitu berharga. Dan aku mampu memakna hidup dalam pandang yang sedikit berbeda.

Maka jika ada yang bertanya tentg teman masa kecil, akan kusebut ia dengan bahagia. Orangtua yang tak pernah lelah dan terus memahami meski bagaimana sulitnya aku, dan pena serta lembar kertas yang menjadi teman setia berbagi cerita.

Minggu, 25 Mei 2014

Cinta dalam Aksara

Seseorang bertanya padaku tentang mengapa aku menulis.
Seringkali jawabannya sederhana saja. Seperti mengapa kita tetap mencinta seseorang meski berat. Cinta telah menjadi satu alasan yang mewakili segalanya. Sebab aku cinta, karenanya aku tetap merangkai kata.

Seringkali tak masalah meski kita menulis pada lembar daun, meski kita tahu sepuluh tahun lagi tentu saja daun itu tak kan tinggal di tempat yang sama, ia akan mengembara. Ke tempat yang tak kan bisa kita analisa.

Tulisan adalah nafas hidupku. Seperti gurat-gurat pada batang pohon yang menua. Seperti embun di pucuk daun kala pagi tiba. Menulis adalah bukti bahwa aku hidup, hiburan sederhana di tengah penatnya tantangan dunia.

Menulis adalah satu dunia yang bisa kita cipta, yang bisa kita rangkai sesuka kita. Menulis adalah satu cara kita mengungkap rasa sederhana menjadi lebih luar biasa. Menulis adalah satu cara kita tahu seberapa jauh kita telah berjalan dan mengevaluasi bagaimana kisahnya.

Dunia begitu dinamis di luar sana, ada banyak uji yang kan menerpa. Menguji nurani mana yang dapat tegap berdiri di tengah realita. Dunia begitu pekat di luar sana. Pikir kita bisa mengeruh karenanya. Mengaburkan idealisme masa muda dengan tuntutan berbagai kepentingan yang menelusup perlahan ke dalam diri.

Menulis adalah satu cara menyimpan kisah dalam aksara. Menjaga pikir kita tetap murni dan sederhana. Mengingatkan bagaimana kita punya mimpi dan harap luar biasa bagi dunia. Menyadarkan kita tentang banyak hal yang mungkin saja bisa lupa seiring masa. Bisa tergilas waktu dan tuntutan kehidupan nyata.

Menulis adalah kata yang bersayap. Yang bisa diam di satu tempat, atau terbang ke banyak tempat tergantung penulisnya. Saat ia diam, ia jadi harta yang kan buat kita tertawa sendiri 10 atau 20 tahun lagi. menertawakan kekonyolan yang kita buat di masa silam. Menertawakan masalah sederhana yang termakna begitu sulit. Seperti menertawakan kucing yang terjebak dalam benang yang ia urai sendiri.

Atau membuat kita tertegun dengan beberapa jenak peristiwa. Menyadari bagaimana hidup pernah termakna begitu sederhana. Menyadari bagaimana asa pernah begitu luar biasa di kepala kita. Menyadari bagaimana kita saat ini terlalu bersandar pada realita yang membuat kita terdiam di tempat yang itu-itu saja.

Kata juga bisa terbang. Berkelana jauh dan berlabuh di tempat yang tak lagi kita tahu. Saat ia diizinkan pergi dari file pribadi atau buku yang kita simpan sendiri, ia akan terbang jauh. Berpindah tangan satu ke yang lainnya. Mengganda, Menduplikasi. HIngga suau hari mungkin kita akan tertegun bagaimana kita yang biasa saja bisa hidup sejauh itu. BIsa hidup lebih lama dari apa yang tertulis di batu nisan kita. Tak lekang oleh perhitungan masa..

Menulis membebaskan kita merangkai sebuah dunia. Membebaskan kita bermimpi melampaui realita. Menawarkan napas segar bagi penatnya kehidupan nyata. Menawarkan usia yang lebih panjang dari catatan masa kita.
Menulis adalah cinta. Karenanya aku tetap merangkai kata.