Rabu, 30 Juli 2014

Apakah suatu hari...

S : "Mbak, anaknya umur berapa?"
A : "1 tahun lebih mbak..."
S : "Sakit apa?"
A : "Wah, kurang tau, ini anak ibu saya"
Lalu dialog beralih ke umi...
S : "Ini anak ibu?"
U : "Iya mbak, anak angkat"

Adalah dialog yang paling sering muncul liburan ini. Dan kemudian berlanjut dengan obrolan panjang.

Banyak yang terjadi. Banyak hal yang baru diketahui.
Setiap manusia terlahir dengan ceritanya. Membawa pesan kehidupan bagi orang lain. Bagaimanapun caranya.
Bersyukur, bahwa ternyata hal terkecil dari hidup kita punya arti. Meski pori-pori yang kasat mata. Atau pendengaran yang tak teraba. Bahkan rasa...

Liburan ini aku belajar mengelola rasa. Sebab si kecil yang ternyata lebih perasa, tak bisa diam jika yang menggendong tak sedang sukacita. Tak membangun bahagia dalam hatinya. Ia bahkan menangis tersedan saat aku memangkunya sambil melamun. Dan sejenak kemudian diam tenang saat aku kembali mengubah rasa. Padahal ekspresiku tak berubah, padahal posisiku tak berpindah.

Dan saat si kecil mengamuk sangat karena tak ada yang mengajaknya bicara, hanya abi yang bisa mendiamkan. Abi memang punya tangan yang menenangkan. Sedetik dipangku abi, tangisnya langsung reda. Apa memang semua laki-laki seperti itu? Apa memang semua ayah seperti itu?

Ada beberapa hal yang berkali terlintas di kepalaku...
Membesarkan si kecil bukanlah hal yang murah, apa aku bisa turut berperan?
Membesarkan si kecil bukan perkara mudah. Apa kelak ia bisa mendengar, bicara, dan berjalan?

Suatu hari... semoga kelak aku memiliki kecukupan segalanya sehingga kehadiran anak benar-benar jadi anugrah, benar-benar tak mesti terpaksa meminta tolong orang lain. Bahkan kalau bisa aku membantu lebih banyak dari apa yang jadi kewajibanku.

Suatu hari... apa seseorang yang akan datang dan aku meniti jalan bersamanya juga mampu memiliki tangan seorang ayah? Yang bukan hanya mencintaiku tapi juga mencintai anaknya dan rela terbangun tengah malam karena tangis anaknya yang tak kunjung henti meski telah kutimang?

Jumat, 18 Juli 2014

Bangun dari Mimpi

Kita terdiam dalam pikir masing-masing. Melemparkan sapa dan saling melihat satu sama lain. Kadang datang saat dirasa dibutuhkan. Tapi selebihnya berjalan masing-masing.

Ada masa dimana aku berpikir bahwa selama ini semuanya baik. Bunga-bunga bermekaran di taman yang kita singgahi. Dan kamu berjalan tenang di sisiku. Kita dalam kedamaian. Segalanya baik. Kamu yang penuh perhatian, meski terkadang terlihat keras dan tegas. Lalu ada aku yang penyabar. Semua tampak sempurna.

Hingga satu masa. Saat aku terjatuh dan terantuk batu. Sementara kamu tengah sibuk dengan banyak hal lainnya. Aku menunggu. Kupikir aku selalu menunggu. Hingga saat kamu datang dan menyentak. Mungkin kamu lelah, pikirku. Aku menunduk, dan menemukan sebuah ukiran di atas batu.

Tulisanku.

Aku terbangun dan tak tahu mesti merasa bagaimana.
Seperti kamu tertidur di sore hari dan terbangun saat petang datang. Tak yakin benar, ini awal dari pagi, atau malam yang hendak menjelang.
Aku terhenyak.

Ukiran itu... aku tahu itu tulisanku. Tapi ada yang salah. Apa yang tertulis disana berbeda dengan apa yang tersimpan sebagai memori. Pikirku kacau. Tak tahu lagi mana yang nyata, mana yang mimpi.

Aku terdiam.

Tapi aku tak boleh diam terlalu lama.
Bergegas bangun dari dunia mimpi!
Sudah waktunya kita mengukir hal nyata!

Cahaya

Senin, 07 Juli 2014

Bisa Dengar Aku?

Kinara, malam ini rindu itu sudah tak lagi terbilang. Aku merindumu. Sangat...
Hanya saja, aku masih terus menunggu hingga kamu sedikit terbang rendah.
Tapi rupanya segala urusan kenegaraan itu membuat waktumu semakin sulit.
Aku tahu tak baik memaksa kehendak. Hanya saja... ada hal yang ingin kuceritakan, yang hanya bisa kuceritakan padamu.

Malam ini aku sungguh tak lagi bisa bersabar, ada banyak sekali hal yang mau kuceritakan. Kalau malam ini kamu masih tak bisa, tak apa. Aku akan menuliskannya lagi. Meski tentu saja, ada hal-hal yang hanya bisa dikatakan. Tapi semoga setidaknya kebutuhan itu bisa terkurangi sedikit.
Aku merindukanmu. Sangat.
Rindu perjalanannya, rindu ceritanya.
Dan rindu itu sudah sangat memenuhi rongga, hingga yang tersisa hanya sesak.

Aku tahu, tak boleh bersikap egois. Tapi hari ini aku akan tetap bercerita, bila tidak padamu, maka pada bayanganmu.

Sabtu, 05 Juli 2014

Sama Rasa

"Rasa dalam hatimu masih saja awet?" Tanya seorang teman.

"Ngg... Sudah hampir 2 tahun sepertinya." Jawabku setengah menggumam. "Dan anehnya ia tetap ada, meski rasanya tipis...sekali. Baik 2 tahun lalu atau sekarang, ia tetap ada dengan kadar yang sama. Tak hilang, tapi juga tak mekar sempurna."

"Tentu saja. Sebab kalian berdua sama-sama berkembang. Sama-sama maju ke arah yang sama. Sama-sama masih satu jalan.
Tentu saja wajar kalau masih ada!" Tegasnya lagi.

"Hmm... sebab jika salah satu dari aku atau dia berhenti mungkin rasa itu akan kikis ya?" Aku mulai mengandai. "Jika dia yang berhenti, aku akan takut dia tak lagi sejalan. Jika aku yang berhenti, ia akan tampak jauh dan tak tergapai. Dan jika itu terjadi, maka aku akan belajar berhenti menyimpan rasa."

Temanku mengangguk.

"Hanya saja..." batinku, "hal terpentingnya bukan hanya itu. Pertanyaannya adalah... apakah aku dan dia juga sama rasa? Sebab meski kita sama jalan dan sama berkembang, tapi berbeda dalam hal rasa, maka segalanya usai."

Aku tersenyum tipis. Membiarkan segala gundah diterbang angin.
"Biar Allah yang menggores ceritanya, kita hanya bisa berharap, berusaha, dan belajar ikhlas terhadap apapun yang jadi ketentuan-Nya"