Kamis, 29 Agustus 2013

"Kita Tak Pernah Berhenti, Kinara"

Kinara,
apa kabarnya?
Kadang aku bersyukur tentang kita yang satu atap. Banyak hal yang sangat berbeda dengan kita. Tapi itu yang buatku kerap kali bersyukur.

Kau tahu kan?
Aku tak pernah membiar ombak berdebur hingga bibir pantai. Kau yang membantuku menyusun batunya. Mencipta barikade. Meski terkadang satu dua batu kecil terlempar oleh pasang gelombang.

Kau juga tahu kan?
Ada tirai yang sudah enggan kutarik ke atas hingga waktu yang tepat tiba. Kau juga yang menyimpan tuas penariknya. Bukan karena hal menyeramkan di balik tirai itu. tapi karena kita tahu, hal indah terlalu percuma bila diintip sebelum waktunya.

Kau juga tahu...
Ada satu warna di kotak cat warnaku yang tak berani kugunakan. Bahkan kau yang merekatkan segelnya. Bukan karena warna yang kotor, justru karena hasilnya akan terlalu indah jika warna itu ditorehkan. Sementara kita belum sanggup benar menatap hasilnya.

Kau ingat saat satu dari taman kita terbakar karena api?
Apinya terlalu besar untuk kita padamkan hanya dengan percik air. Tapi tetap saja kita lakukan. Meski saat itu kita tahu hanya akan percuma. Setidaknya pada akhirnya ada satu sudut taman yang tetap utuh. Dan kini mulai tumbuh mengisi seluruh taman yang tadinya terbakar.

Kita tak pernah berhenti, Kinara.
dan kita tak akan menyentuh yang belum waktunya disentuh.
kita tak pernah berhenti, Kinara.
Sampai kapanpun terhadap apa yang pernah kita sepakati bersama.

Aku tak pernah berhenti, Kinara.
Meski terkadang aku ingin. Sangat ingin.
aku tak pernah berhenti, Kinara.
sebab hadirmu, dan daftar kesepakatan kita buatku terlalu malu untuk berhenti.

-Kirana-
.:dalam balut senja dan ingin mengangkasa yang belum waktunya:.

Senin, 26 Agustus 2013

Sayap-Sayap Matahari

Kita sayap-sayap matahari. Yang seharusnya terbang dengan gagahnya. Membelah angkasa, menuntaskan cita. Ada masa memang, dimana titik kelam mencoba mengganggu kemilaunya. Tapi kita... Tetap saja sayap matahari. Yang tertiup angin senja hari, menarikan cita langit.

Kita sayap matahari. Serpih kecil dari angin kehidupan. Tapi tak berarti kita suci. Kita sayap matahari, yang tak henti diuji. Berulang kali. Lagi dan lagi. Hingga saat ujian itu telah lelah menguji. Ia coba mengganggu lewat jalur yang (katanya) dibutuhkan serpih itu. Hingga kemilaunya memudar, menghilang. Sampai ia tak lebih dari sayap biasa. Gugur, dan meranggas perlahan.

Kita sayap-sayap matahari. Menyadari itu dan saling menopang, hingga cita yang kita bawa mampu terbang. Kembali ke angkasa. Kepada Sang Penitip Misi. Kita sayap matahari. Maka mari mengembangkan sayap, perlebar jangkauan. Hingga tak ada celah bagi sang pengganggu untuk masuk dan membuat kita meranggas.

Selasa, 13 Agustus 2013

Untuk Apa Hidup?

"Untuk apa aku ada?" Gumamku malam itu.

Anak kecil berlarian di pekarangan ibukota. Tak peduli meski ratusan mobil hilir mudik tanpa jeda. Seakan seluruh lahan ibukota adalah pekarangan rumahnya.

Sejenak aku melangitkan pandang. Teringat orang-orang yang bak raja duduk di singgasananya. Seakan dunia berputar karena dirinya. Mengeluarkan titah, yang biasa kita dengar sebagai "kebijakan".

Mobil yang kutumpangi masih terus berjalan. Mataku tertambat ke sebuah plang yayasan. Teringat sekumpulan orang dengan idealisme melangit. Dengan program segudang. Waktunya telah didedikasikan untuk berbakti, bagi masyarakat. Katanya. Dengan jas almamater dan argumen cerdas, juga senyum penuh wibawa.

Aku telah sampai di rumah. Rak-rak berjajar, buku-buku berbaris rapi di dalamnya. Terbayang wajah seseorang. Dengan buku, visinya terwariskan, jutaan orang berlomba menyusun citanya. Visinya melampaui batas negara. Mereka bilang, seorang mujaddid akan datang per 100 tahun.

Bayi kecil di rumah telah tertidur. Ia lahir dengan cerita luar biasa. Dibanding usianya, pendengarannya masih jua belum sempurna benar. Jadi apa dia 30 tahun dari sekarang?

Cermin seukuran tubuh tergantung di dinding. Seakan menantang, "berapa umurmu? Untuk apa kamu ada?"

Setiap orang lahir dengan pesan hidupnya. Untuk apa, untuk siapa? Tak pernah ada yang tertakdir menjadi sia-sia. Tapi tak pernah ada yang mau hidup dalam batas.

Lalu... perlahan aku menggumam, "apa takdirku? Seluas apa lahan pahala yang bisa kugarap"
Lirih berharap, "kumohon Allah... luaskan lahannya, kuatkan diriku. Jangan persempit... jangan persempit... sesungguhnya segala kekuatan berasal dàri-Mu, segala takdir ada di tangan-Mu. Jangan persempit... jangan persempit... dan jadikan aku orang yang mampu"

Senin, 05 Agustus 2013

Untuk Senja

Hai senja!
masih saja mengukir rindu. Lama tak singgah sejenak dari keramaian hari. Besok aku akan berhenti sesaat. Mengistirahatkan punggung yang lelah menopang tubuh selama satu bulan penuh.

Hahha... kau tahu kan senja, kita selalu berbincang lewat diam. Tertawa dengan apa yang berputar di kepala. Saling berbalas. Seperti ada mesin telepati yang kau tanam di dalam kepalaku.

Kau juga tahu satu bulan kemarin sinyal kita melemah. Aku terlalu lelah untuk menguatkan sinyalnya. Pun ketika kita bersisian. Seringkali aku tak sadar saat itu kau sangat indah. Ah tidak! Kau tak pernah tidak indah.

Ohya, titip salam untuk penciptamu yang begitu agung. Sampaikan syukurku karena telah menciptakanmu dengan begitu mempesona.

Apa kabar senja?
Besok kita berjumpa ya di tempat yang lain. Semoga saja aku tidak tertidur karena lelah. Atau terlalu sibuk mengurai rindu dengan mereka yang akan kutemui esok.

Besok aku akan melihatmu di tempat yang lain. Bukan di lapangan luas seperti tempat biasa kita bertemu. Bukan di atas motor dan beradu dengan kecepatan untuk bisa mengabadikanmu. Tapi di tempat lain yang aku pun baru akan besok kesana. Oke, selamat berjumpa. Semoga hujan tidak turun senja esok.
:)