Senin, 15 Desember 2014

Pertemuan

Sampai saat yang ditentukan menjelang perjumpaan, kita hanya mesti bersabar kan?

Terhadap segalanya.

Setiap kita telah sama tahu mana yang merupakan prioritas yang mesti kita jalani lebih dulu. Tentang amanah dan segalanya. Tapi kamu tak hilang kan? Kita sama punya sepasang mata lagi yang kita letakkan di punggung. Saling tahu apa yang saudaranya lakukan, meski tampaknya tak acuh. Kita sama punya sepasang telinga yang kita simpan di hati yang lainnya. Saling tahu apa yang dirasa meski tak cukup waktu duduk bersama.

Kamu tahu, aku rindu. Sangat.

Tapi perjumpaan kita yang sekelebat. Meski tak bisa dikatakan memuaskan, aku juga harus bisa belajar cukup. Kamu tak hilang kan?

Pada awalnya kita membutuhkan yang lainnya. Mungkin lebih banyak aku. Membutuhkan perhatian, sapaan, pemberian. Dan sebagainya. 

Sampai di satu titik, aku tahu menunggumu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan, membosankan, dan menguras kesabaran. Kesibukanmu yang melangit, dan segalanya. 

Maka pada titik ini, aku membalik kebutuhanku. Bukan untuk menambah bebanmu. Bukan untuk menambah urusanmu. Tapi seperti Harun kepada Musa, biarlah kebutuhanku menjadi kebutuhan untuk membantumu. Seperti Harun kepada Musa. Biarkan aku menjadi Harun. Sahabat terbaik yang kau punya.

Maka dengan kebutuhan seperti ini. Waktu yang kau beri untukku tak lagi jadi soal. Asal melihatmu sehat, semangat, dan semakin luar biasa. Maka cukup. Asal kamu percayakan sebagian urusanmu padaku, maka cukup. Pada titik ini, segala harap akan pemberianmu untukku tak lagi jadi soal. Tak lagi jadi kebutuhan.

Biar setiap pertemuan kita lebih banyak berisi tentang "kamu" daripada "aku".

Jumat, 31 Oktober 2014

Malam (part 1)

Malam lagi. Hidup tak lain adalah pergantian siang dan malam. Cahaya dan kegelapan yang beriring. Seperti pasangan sepatu. "Selalu bersama, tak bisa bersatu". Hahha, perumpamaan ini sedang marak sejak beberapa waktu belakangan. Tapi tak apa, cahaya indah dengan caranya. Pun dengan kegelapan. Siang indah dengan caranya, dan begitu pula malam. Sebab ada yang satunya, maka yang lain jadi indah. Sebab ada yang satunya, maka yang lainnya jadi bermakna.

Malam selalu membuatku jatuh cinta. Bukan kepada seseorang, tapi kepada malam itu sendiri. Seluruh penghuni rumah sudah mulai terlelap. Kamar-kamar lain sudah mulai sepi. Suara-suara riuh khas anak kost semakin redup seiring malam yang semakin larut. Aku ditinggalkan bersama malam. Dengan sebuah jendela yang terbuka lebar, menyajikan gemintang di kanvas langit. Segelas coklat panas masih anggun berdiam di dalam cangkir. Asap harumnya mengepul. Benar-benar tak memberi pilihan untuk menolak. Lampu kamar terpantul sedikit ke permukaannya. Seperti cahaya yang hadir di tengah kegelapan. Mana bisa ditolak. Aku menyesap coklatku sambil memandang taburan gemintang. Seperti mesis putih di atas black forest raksasa. Waktu seperti ini adalah waktu istimewaku dengan malam. Membincangkan cinta dan segalanya dalam kesunyian.

Aku tak pernah membenci malam. Aku tak pernah terlelap tanpa bicara pada malam. Tak apa meski ia tetap diam. Sajian kerlip gemintang dan semilir angin yang sesekali memainkan anak rambutku, sudah lebih dari mampu memberikan ketenangan dalam tidur. Perjalanan singkat ke luar dimensi manusia. Aku tak pernah lupa menyapa malam, meski hanya "Selamat malam, Malam".

Kamis, 09 Oktober 2014

Titian Pelangi

Yosh. Apa yang bisa diceritakan hari ini?

Ada titian pelangi menuju langit. Katanya di ujung pelangi ada kendi emas. Aku ini manusia yang hidup dalam negeri mimpi. Aku percaya, lalu bagaimana?
Kita memilih apa yang kita percayai bukan?

Hei, selamat malam. Dalam perjalanan kita akan kedatangan banyak warna. Warna-warna harapan. Warna-warna cerita. Warna-warna tantangan. Kita harus meniti semuanya, biar kita tahu bagaimana istimewanya ujung pelangi.

Kalau pelangimu terputus di satu titik. Ciptakan lagi saja warna baru. Perjalananmu tak boleh berhenti hanya karena hilangnya satu garis warna.

Yep, selamat berjalan.
Selamat meniti pelangi.
Selamat menjemput kendi emasnya

Waktu Merindumu

aku tak pernah sempurna mampu merindumu
ada banyak garis halus yang melintang di ruang antara kau dan aku

malam masih saja gulita, menyisakan kerlip gemintang
manis memang, cantik memang, tapi tak cukup mengubah malam jadi benderang

rindu ini seperti bait nada yang belum teraksara
indah memang, tapi tak terasa begitu sempurna

aku menunggu, hingga waktu dimana segalanya bebas kita ungkapkan
aku menunggu, hingga mentari gantikan gemintang dan sinari tempat kita terdiam

Rabu, 01 Oktober 2014

Diingat

Beberapa puluh tahun lagi mungkin kamu akan lupa bahwa kamu pernah mengingatku.

Khawatir? Tentu saja

Tapi kita tak bisa memaksa siapapun mengingat kita jika kita tak mampu melakukan apapun.

Tapi kedekatan seperti ini memaksamu menjadi orang yang multi tasking. Yang mampu membagi perhatian secara merata ke semua orang.
Bagaimanapun kita telah sama-sama dewasa, jadi tak ada yg benar-benar perlu dijaga dan dikhawatirkan. Tatap saja lurus apa yang ada di depanmu. Dilupakan atau diingat adalah hal lain lagi yang tak perlu diusahakan.

Yep.
"Bukan demi tuk siapapun juga, cukup mencoba untuk jadi lebih hebat"
Lakukan apa yang memang harus dilakukan. Baru setelah itu, lakukan apa yang kamu suka, dengan caramu. Dan sesekali biarkan oranglain tahu prosesmu, karena tak selalu harus sempurna untuk menunjukkan diri.

Biarkan setiap orang berjalan di jalurnya. Dan kamu di jalurmu. Lalu bila memang sudah waktunya, kamu akan tahu bagaimana mereka mengingatmu. Tanpa perlu merasa terganggu dengan pandangan mereka.

Rabu, 03 September 2014

This Is (not) a Game

Selamat malam,
seseorang berkata bahwa hidup ini seperti sebuah permainan.
Yang lain bilang nikmati saja, yang lainnya bilang tapaki setiap levelnya.

Tapi, ada yang berbeda tentang hidup dan game.
Dalam kehidupan, kita tak bisa me-restart semau kita. Jangankan re-start, undo saja tak mungkin. Satu kata yang dikenal di kehidupan jika kita salah adalah : perbaiki. Urusan dimaafkan atau tidak, mungkin bisa belakangan.

Selain itu, tak ada manual book, atau cara bermain yang jelas dalam kehidupan ini. Indikator kenaikan level pun tak ada, seperti berapa poin yang harus dikumpulkan, treasure yang mesti ditemukan, misi yang harus dijalankan. Tidak ada.
Life point, health point, pencapaian level, job description pun tak ada.
Satu hal yang pasti ada : Game Over. Dan itupun tidak jelas kapannya.

Setiap orang yang tetap bermain, beberapa di antaranya akan menemukan tujuannya. Level tertinggi yang mesti dicapai.
Tapi progres pencapaiannya? Berapa level dia meningkat? Siapa yang tahu.

Tapi dalam permainan kehidupan, kita bisa setiap saat kembali ke level 1 bahkan 0.  Bisa turun level kapan saja, bahkan tanpa tahu berapa level yang hilang, karena tak ada penaikan level yang meningkat secara stabil disini. Bahkan mereka yang telah menemukan tujuan, bisa saja ragu dan mengira hal tersebut semu. Lalu kembali ke titik satu atau nol.

Dalam permainan ini kita hanya tahu 2 titik : mula dan akhir. Tapi seberapa banyak level yang mesti dilewati, tak ada yang tahu. Dan lagi, tak ada titik aman pertama, apalagi berikutnya.

Setiap orang yang melihat level puncaknya hanya perlu menuju kesana. Caranya bagaimana? Itu terserah setiap pemain.
Indikatornya jelas : mencapai level tertinggi. Sudah.

Tapi selebihnya tak ada apa-apa.
Hidup ini hanya seperti tinggal di kota pertukaran bagi mereka yang tak menemukan tujuan. Terdiam, atau berputar di tempat yang sama.

Baiklah, aku mengantuk.
Dalam bermain pun kita harus tetap baik.
Jadi, selamat malam...
Aku sudah sangat mengantuk malam ini~

Rabu, 27 Agustus 2014

This Is (not) a Game

Selamat malam,
seseorang berkata bahwa hidup ini seperti sebuah permainan.
Yang lain bilang nikmati saja, yang lainnya bilang tapaki setiap levelnya.

Tapi, ada yang berbeda tentang hidup dan game.
Dalam kehidupan, kita tak bisa me-restart semau kita. Jangankan re-start, undo saja tak mungkin. Satu kata yang dikenal di kehidupan jika kita salah adalah : perbaiki. Urusan dimaafkan atau tidak, mungkin bisa belakangan.

Selain itu, tak ada manual book, atau cara bermain yang jelas dalam kehidupan ini. Indikator kenaikan level pun tak ada, seperti berapa poin yang harus dikumpulkan, treasure yang mesti ditemukan, misi yang harus dijalankan. Tidak ada.
Life point, health point, pencapaian level, job description pun tak ada.
Satu hal yang pasti ada : Game Over. Dan itupun tidak jelas kapannya.

Setiap orang yang tetap bermain, beberapa di antaranya akan menemukan tujuannya. Level tertinggi yang mesti dicapai.
Tapi progres pencapaiannya? Berapa level dia meningkat? Siapa yang tahu.

Tapi dalam permainan kehidupan, kita bisa setiap saat kembali ke level 1 bahkan 0.  Bisa turun level kapan saja, bahkan tanpa tahu berapa level yang hilang, karena tak ada penaikan level yang meningkat secara stabil disini. Bahkan mereka yang telah menemukan tujuan, bisa saja ragu dan mengira hal tersebut semu. Lalu kembali ke titik satu atau nol.

Dalam permainan ini kita hanya tahu 2 titik : mula dan akhir. Tapi seberapa banyak level yang mesti dilewati, tak ada yang tahu. Dan lagi, tak ada titik aman pertama, apalagi berikutnya.

Setiap orang yang melihat level puncaknya hanya perlu menuju kesana. Caranya bagaimana? Itu terserah setiap pemain.
Indikatornya jelas : mencapai level tertinggi. Sudah.

Tapi selebihnya tak ada apa-apa.
Hidup ini hanya seperti tinggal di kota pertukaran bagi mereka yang tak menemukan tujuan. Terdiam, atau berputar di tempat yang sama.

Baiklah, aku mengantuk.
Dalam bermain pun kita harus tetap baik.
Jadi, selamat malam...
Aku sudah sangat mengantuk malam ini~

Sabtu, 23 Agustus 2014

After Release

Hei, selamat malam...
Waktu menunjukkan 49 menit lagi menuju pergantian hari saat aku mulai membariskan kata di layar ponsel.
Apa kabarmu? Semoga Allah masih menaungi jejak kita.

Saat kita berharap sesuatu. Meminta dengan ketulusan hati tanpa ada niat yang terselip, Allah tak kan segan memberi. Meski terkadang aku takut pemberian adalah ujian. Tapi, daripada merasa takut, sepertinya bersyukur akan lebih baik.

Kemarin aku memutuskan untuk keluar dari tempatku. Kembali ke sebuah tempat yang sepertinya telah cukup lama tak kusapa.
Allah memberi, saat kita mulai melangkah. Bukan sekedar menunggu.

Dan ya, ada dua hal yang kudapat hari itu.
Dua hal yang seketika melepas beban yang beberapa hari ini bertengger di dada. Ringan sekali. Bahagia itu hadir saat kita telah mampu 'membebaskan' pikir kita sendiri.
Belajar memberikan sayap pada tanda tanya, agar ia bebas mencari jawabnya.
Belajar memberikan sayap pada penantian, agar ia bisa bebas melihat indahnya sekitar.

Malam tadi aku tidur dengan damainya. Dengan mudah, dan tanpa mimpi. Aku tidur dengan pegal di sekujur tubuh, dan terbangun dengan ringan, seakan ada sayap yang tumbuh di bahuku.
Kau tahu, bagiku itu anugrah luar biasa. Melewatkan malam dengan singkat, tidur lelap, dan bangun sesuai rencana.

Kita hanya perlu jujur pada diri sendiri kepada tempat yang tepat, berdoa pada Sang Pengabul Doa, bergerak, dan bersyukur.
Serta menikmati penantian, tak hanya sekedar bersabar.

Dan pada akhirnya, hanya pada Pemilik Semesta aku pantas berterima kasih.
Untuk kemampuan melangkahkan kaki, pertemuan dengan orang-orang hebat, dan terbukanya hati.

Jadi, selamat malam.
Semoga tapakmu selalu dinaungi petunjuknya~
:)

Rabu, 13 Agustus 2014

Pada Siapa?

M : Hei, kau tahu, aku rindu....
R : pada siapa?
M : entahlah. Aku hanya merasa rindu sesuatu, atau mungkin seseorang...
R : Kau butuh teman bicara, atau mungkin Tuhanmu memanggil. Kapan terakhir kali kau sungguh-sungguh bicara dengannya?
M : sungguh-sungguh bicara?
R : ya. Bicara dengan seluruh hatimu. Seperti orang yang bicara dengan kekasihnya.

Senin, 11 Agustus 2014

Bicara

A : hei, aku kembali.
B : kemana?
A : ke kamu, tentu saja. Kamu kan yang sekarang ada di hadapanku. Siapa lagi?
B : untuk apa?
A : bicara.
B : tentang apa?
A : apapun, kamu mau berbicara?
B : tadi kau yang mau bicara, kenapa jadi aku?
A : hahha. Aku bosan mendengar suaraku. Jadi sekarang aku mau mendengarmu.
B : mendengarku?
A : ya.
B : tidak mungkin.
A : kenapa?
B : aku dan kamu adalah satu hal yang sama. Segalanya sama saat kita bicara.
A : tapi aku nyaman. Apa tak boleh?
B : boleh saja. Tapi....
A : ya?
B : kenapa harus aku?
A : tentu saja karena itu kamu.
B : bagaimana dengan yang lain? Apa kau tak punya tempat bicara yang lain?
A : ada.
B : lalu kenapa harus aku?
A : aku bicara pada mereka kok. Hanya saja... itu ketika aku memang siap. mereka... menakutkan.
B : bagaimana bisa? Memang aku tidak?
A : kamu jauh lebih menakutkan. Tapi dalam hal yang berbeda.
B : bedanya?
A : mereka selalu tampak baik. Itu menyeramkan.
B : mereka baik, lalu kenapa menyeramkan?
A : mereka baik, tapi mereka berfikir, lalu berprasangka. Mereka meng-iya-kan, tapi membantah dalam hati. Selain itu, aku mengganggu mereka.
B : darimana kau tahu?
A : aku merasa. Cara mereka menatap, gerak tubuh, dan segalanya.
B : kalau begitu kau sama dengan mereka.
A : bagian mananya?
B : berprasangka. Kau berprasangka pada mereka.
A : ya... mungkin.
B : lalu?
A : apalagi?
B : kenapa aku juga menyeramkan? Karena aku berprasangka?
A : tidak.
B : lalu?
A : kamu terlalu jujur, dan kadang menyakitkan. Kamu mengatakan sesuatu yang tak mau kukatakan pada diri sendiri. Kamu... terlalu tepat sasaran.
B : hahha. Lalu maumu apa?
A : biasa saja.
B : biasa? Bagaimana?
A : biasa saja seperti kamu adanya...
B : aku tak paham. Lalu kenapa kamu terus bicara padaku?
A : karena kamu tulus. Kamu tak berprasangka. Kamu mengatakan hal yang sama dengan yang kamu pikirkan. Meski kadang itu merepotkan. Kamu tak berpura-pura.
B : darimana kau tahu?
A : aku merasakannya.
B : itu tidak logis. Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu yang sedikit logis. Seperti psikolog misalnya.
A : aku tidak tahu. Aku bukan psikolog, jadi aku tidak tahu. Aku hanya bisa merasa.
B : kamu terlalu absurd.
A : aku  tahu, karena itu aku tak banyak bicara begini ke orang lain.
B : ....
A : terimakasih
B : dengan alasan?
A : ya. Terimakasih untuk mendengar dan bersabar. Untuk selalu rela dan selalu ada. Untuk selalu mau jadi teman bicara.
B : kau bisa gila...
A : kenapa?
B : karena aku dan kamu adalah satu hal yang sama.
A : tenang saja, suatu hari akan ada seseorang di luar sana yang sama sepertimu.
B : kamu harus belajar menerima orang lain.
A : ya, aku belajar. Aku menerima mereka sejauh yang mereka mampu dalam menerimaku.
B : kau tahu, kau egois.
A : entahlah. Aku tidak paham tentang kata itu. Bisa kau jelaskan?
B : mungkin lain kali.
A : baiklah~

Minggu, 10 Agustus 2014

Rindu

A : aku merindukanmu
B : bagaimana mungkin?
A : kenapa tidak mungkin?
B : kita tak pernah saling bertemu, kita tak saling mengenal, bagaimana bisa rindu?
A : sebab aku rindu
B : ya, tapi bagaimana bisa?
A : apakah segalanya harus beralasan?
B : tak selalu, tapi...
A : sebab aku rindu. Itu saja. Mungkin karena kita satu resonansi. Mungkin. Aku tak tahu juga, karena kamu yang tahu...
B : bagaimana kamu tahu kita satu resonansi?
A : hanya 'mungkin', aku tak tahu. Kalau kamu juga rindu aku, mungkin resonansi kita benar sama.
B : bagaimana jika tidak?
A : apa itu masalah?
B : entahlah. Apa itu masalah bagimu? Rindumu tak berbalas kan?
A : lalu kenapa? Itu rasamu. Aku tak punya hak atasnya. Terserah saja. Yang aku tahu, ya rasaku. Jadi tak apa.
B : kamu masih akan tetap rindu aku?
A : ya, itu tak berhubungan.
B : bagaimana kalau itu menggangguku?
A : apanya?
B : rindumu, dan caramu mengungkapkannya.
A : kalau begitu aku akan diam.
B : tapi, rindumu akan terus ada?
A : lalu kenapa? Tak masalah. Dia akan hilang dengan  sendirinya.
B : bukannya malah semakin nembuncah?
A : ya, kalau kita satu resonansi.
B : itu lagi?
A : kau mau bagaimana?
B : aku hanya tak paham.
A : rinduku tak perlu alasan. Dia akan padam kalau kita berbeda jalan, tapi akan bertahan jika kita memang satu resonansi, meski tak pernah terkata.
B : kamu terlalu rumit.
A : tidak juga, kamu yang terlalu beranggapan bahwa segalanya mesti beralasan.
B : memang apalagi yang tak perlu alasan?
A : banyak. Terimakasih, bahagia, beberapa airmata, rindu, dan... mungkin cinta?
B : kau terlalu perasa.
A : apa itu masalah?
B : sedikit, tapi lebih banyak 'aneh'.
A : hahha, kau tak dapat melihat segalanya dengan mata.
B : tapi kau bisa tenggelam dan buta karena rasamu sendiri.
A : ya, aku tahu. Sebab itu aku butuh kamu.

Rabu, 30 Juli 2014

Apakah suatu hari...

S : "Mbak, anaknya umur berapa?"
A : "1 tahun lebih mbak..."
S : "Sakit apa?"
A : "Wah, kurang tau, ini anak ibu saya"
Lalu dialog beralih ke umi...
S : "Ini anak ibu?"
U : "Iya mbak, anak angkat"

Adalah dialog yang paling sering muncul liburan ini. Dan kemudian berlanjut dengan obrolan panjang.

Banyak yang terjadi. Banyak hal yang baru diketahui.
Setiap manusia terlahir dengan ceritanya. Membawa pesan kehidupan bagi orang lain. Bagaimanapun caranya.
Bersyukur, bahwa ternyata hal terkecil dari hidup kita punya arti. Meski pori-pori yang kasat mata. Atau pendengaran yang tak teraba. Bahkan rasa...

Liburan ini aku belajar mengelola rasa. Sebab si kecil yang ternyata lebih perasa, tak bisa diam jika yang menggendong tak sedang sukacita. Tak membangun bahagia dalam hatinya. Ia bahkan menangis tersedan saat aku memangkunya sambil melamun. Dan sejenak kemudian diam tenang saat aku kembali mengubah rasa. Padahal ekspresiku tak berubah, padahal posisiku tak berpindah.

Dan saat si kecil mengamuk sangat karena tak ada yang mengajaknya bicara, hanya abi yang bisa mendiamkan. Abi memang punya tangan yang menenangkan. Sedetik dipangku abi, tangisnya langsung reda. Apa memang semua laki-laki seperti itu? Apa memang semua ayah seperti itu?

Ada beberapa hal yang berkali terlintas di kepalaku...
Membesarkan si kecil bukanlah hal yang murah, apa aku bisa turut berperan?
Membesarkan si kecil bukan perkara mudah. Apa kelak ia bisa mendengar, bicara, dan berjalan?

Suatu hari... semoga kelak aku memiliki kecukupan segalanya sehingga kehadiran anak benar-benar jadi anugrah, benar-benar tak mesti terpaksa meminta tolong orang lain. Bahkan kalau bisa aku membantu lebih banyak dari apa yang jadi kewajibanku.

Suatu hari... apa seseorang yang akan datang dan aku meniti jalan bersamanya juga mampu memiliki tangan seorang ayah? Yang bukan hanya mencintaiku tapi juga mencintai anaknya dan rela terbangun tengah malam karena tangis anaknya yang tak kunjung henti meski telah kutimang?

Jumat, 18 Juli 2014

Bangun dari Mimpi

Kita terdiam dalam pikir masing-masing. Melemparkan sapa dan saling melihat satu sama lain. Kadang datang saat dirasa dibutuhkan. Tapi selebihnya berjalan masing-masing.

Ada masa dimana aku berpikir bahwa selama ini semuanya baik. Bunga-bunga bermekaran di taman yang kita singgahi. Dan kamu berjalan tenang di sisiku. Kita dalam kedamaian. Segalanya baik. Kamu yang penuh perhatian, meski terkadang terlihat keras dan tegas. Lalu ada aku yang penyabar. Semua tampak sempurna.

Hingga satu masa. Saat aku terjatuh dan terantuk batu. Sementara kamu tengah sibuk dengan banyak hal lainnya. Aku menunggu. Kupikir aku selalu menunggu. Hingga saat kamu datang dan menyentak. Mungkin kamu lelah, pikirku. Aku menunduk, dan menemukan sebuah ukiran di atas batu.

Tulisanku.

Aku terbangun dan tak tahu mesti merasa bagaimana.
Seperti kamu tertidur di sore hari dan terbangun saat petang datang. Tak yakin benar, ini awal dari pagi, atau malam yang hendak menjelang.
Aku terhenyak.

Ukiran itu... aku tahu itu tulisanku. Tapi ada yang salah. Apa yang tertulis disana berbeda dengan apa yang tersimpan sebagai memori. Pikirku kacau. Tak tahu lagi mana yang nyata, mana yang mimpi.

Aku terdiam.

Tapi aku tak boleh diam terlalu lama.
Bergegas bangun dari dunia mimpi!
Sudah waktunya kita mengukir hal nyata!

Cahaya

Senin, 07 Juli 2014

Bisa Dengar Aku?

Kinara, malam ini rindu itu sudah tak lagi terbilang. Aku merindumu. Sangat...
Hanya saja, aku masih terus menunggu hingga kamu sedikit terbang rendah.
Tapi rupanya segala urusan kenegaraan itu membuat waktumu semakin sulit.
Aku tahu tak baik memaksa kehendak. Hanya saja... ada hal yang ingin kuceritakan, yang hanya bisa kuceritakan padamu.

Malam ini aku sungguh tak lagi bisa bersabar, ada banyak sekali hal yang mau kuceritakan. Kalau malam ini kamu masih tak bisa, tak apa. Aku akan menuliskannya lagi. Meski tentu saja, ada hal-hal yang hanya bisa dikatakan. Tapi semoga setidaknya kebutuhan itu bisa terkurangi sedikit.
Aku merindukanmu. Sangat.
Rindu perjalanannya, rindu ceritanya.
Dan rindu itu sudah sangat memenuhi rongga, hingga yang tersisa hanya sesak.

Aku tahu, tak boleh bersikap egois. Tapi hari ini aku akan tetap bercerita, bila tidak padamu, maka pada bayanganmu.

Sabtu, 05 Juli 2014

Sama Rasa

"Rasa dalam hatimu masih saja awet?" Tanya seorang teman.

"Ngg... Sudah hampir 2 tahun sepertinya." Jawabku setengah menggumam. "Dan anehnya ia tetap ada, meski rasanya tipis...sekali. Baik 2 tahun lalu atau sekarang, ia tetap ada dengan kadar yang sama. Tak hilang, tapi juga tak mekar sempurna."

"Tentu saja. Sebab kalian berdua sama-sama berkembang. Sama-sama maju ke arah yang sama. Sama-sama masih satu jalan.
Tentu saja wajar kalau masih ada!" Tegasnya lagi.

"Hmm... sebab jika salah satu dari aku atau dia berhenti mungkin rasa itu akan kikis ya?" Aku mulai mengandai. "Jika dia yang berhenti, aku akan takut dia tak lagi sejalan. Jika aku yang berhenti, ia akan tampak jauh dan tak tergapai. Dan jika itu terjadi, maka aku akan belajar berhenti menyimpan rasa."

Temanku mengangguk.

"Hanya saja..." batinku, "hal terpentingnya bukan hanya itu. Pertanyaannya adalah... apakah aku dan dia juga sama rasa? Sebab meski kita sama jalan dan sama berkembang, tapi berbeda dalam hal rasa, maka segalanya usai."

Aku tersenyum tipis. Membiarkan segala gundah diterbang angin.
"Biar Allah yang menggores ceritanya, kita hanya bisa berharap, berusaha, dan belajar ikhlas terhadap apapun yang jadi ketentuan-Nya"

Rabu, 18 Juni 2014

Laut

Kinara, hari ini aku memperhatikan bagaimana air mengalir. Seperti yang telah lama kita tahu, ia selalu mengalir dari hulu ke hilir. Hulunya bisa apa saja, bisa darimana saja, tapi kita sepakat bahwa hilir bagi seluruh air adalah lautan.

Seperti kita yang memiliki rumah tempat kita bersandar sejenak, tempat kita melepas penat. Rumah yang sentiasa kita rindukan dimanapun kaki kita berpijak.
Maka bagi milyaran tetes air itu, laut adalah rumahnya, rumah tempat ia kembali dari perjalanannya sejak pertama ia berguling dari hulunya, atau bahkan lebih lama dari itu.

Dan andaikata kita adalah setetes air dalam pengembaraan, maka laut kita adalah Allah. Laut yang tak kan pernah bertepi. Sebab Allah adalah tuju kita, muara perjalanan kita, tempat kita bisa melepas penat lebih dari tempat manapun di muka bumi.

Jadi, selamat sore, Kinara...
Dan bersama pengembaraan kuta yang tak pernah usai hingga akhir masa, setidaknya kita telah tahu, bahwa dalam siklus perputaran hidup kita, kita punya satu muara. Tempat kita sejenak mencairkan segala konsentrasi yang hadir dalam hidup kita. Bernafas sejenak, dan merangkai kembali kesanggupan kita menjalani segala proses kita menuju pertemuan luar biasa.

Jadi, selamat sore, Kinara...
Dan seperti yang biasa kita dendangkan, 'kita ini bukan siapa-siapa tanpa-Nya, tanpa Ia sebagai muara'.

Jumat, 06 Juni 2014

Teman Makan

Selamat sore...
Perkuliahan kali ini berjalan sangat santai. Segala hal tentang bermain pura-pura seringkali menyenangkan. Ya, banyak dari kita lebih nyaman melihat tawa bahagia orang lain meski hanya pura-pura, daripada berempati terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Sore mengiring memori kita sejak mula. Meramu apa yang tlah kita jalani sejak pagi. Pagi....sekali. saat mentari masih malu-malu keluar dari dipannya.

Hei, apa menu sarapanmu pagi ini?
Masihkah sama seperti masa yang telah lamaaa sekali.
Sekantung pikiran yang minta diolah sehari ini. Rebusan semangat yang menggelegak. Dan secangkir harapan untuk hari yang kan dijalani.
Sarapanmu selalu luar biasa. Maka tak heran sehari ini kamu selalu menapak bumi dengan langkah mantap penuh arti.

Aku penikmat langkahmu. Pemerhati prosesmu. Pagimu selalu luar biasa. Begitu pula harimu.
Tapi aku penikmat proses, bukan hasil. Kamu boleh menjadi siapapun di muka dunia. Tapi jangan kenakan topengmu di hadapanku.
Saat sarapanmu telah habis terkonversi jadi energi, kamu boleh datang kapanpun, dan kita akan makan siang atau makan malam bersama. Agar asupan energimu tak pernah defisit di hadapan orang banyak. Agar semangatmu tak pernah pudar sepanjang hari.
Kamu hanya perlu datang padaku, dan aku akan mengisi penuh-penuh piring, mangkuk, dan gelas sarapanmu. Atau setidaknya, menemanimu mengisi semuanya.
Kamu hanya perlu tahu aku akan  selalu siap menjadi teman makanmu. Sebab aku penikmat proses dan segala likunya, bukan penikmat topeng bahagia yang pura-pura.

Selamat bergerak, dan jangan lupa untuk menikmati sarapanmu dengan baik.

Rabu, 04 Juni 2014

Quote (6) - Sakit

Manusia tak pernah sungguh peduli, dan tak harus sungguh tahu alasan sebenarnya kita berubah polah tiba-tiba.
.
.
.
Mereka hanya peduli tentang kapan kita kembali pulih, dan bisa bekerja  seperti sedia kala.

Minggu, 01 Juni 2014

Ukhuwah (expired)

"Sahabat"
sebenarnya tak pernah punya cukup kesanggupan menyematkan kata ini di antara kita.
Bukan karena kamu yang tak pernah ada, tp sebaliknya. Karena kamu yang selalu sedia sementara pengorbananku tak pernah cukup sepadan.

Ikhlas. Dan ukhuwah islamiyah.
Dua nama yang beriring dan mudah disebut saat ini. Sebab kita masih siswa, meski ada sematan kata 'maha' di depannya. Sebab idealisme kita masih murni, belum terbentur realita. Maka mudah saja melakukan tadhhiyah dengan hati ikhlas. Maka mudah saja mengatasnamakan ukhuwah islamiyah dan merasa paling paham dengan konsep tersebut.

Tapi perjalanan kita tak selesai hanya sampai gerbang wisuda. Justru kehidupan baru akan dimulai ketika ijazah telah diterima. Saat idealisme terbentur realita. Tak hanya tentang ukhuwah, tapi segala di luar sana akan lebih menguji seluruhnya dari kita. Namun, biarkan aku bicara tentang ukhuwah saja di rangkai kata malam ini.

Kamu yang merasa sahabat. Kita yang merasa sahabat. Setidaknya untuk saat ini. Untuk masa yang akan tiba, 10 bahkan 20 tahun lagi dari saat ini apa kita akan tetap sama? Meski kita masih sama melingkar, apa keikhlasan kita dalam berkorban masih akan tetap sama.
Hidup begitu mudah di dalam sini. Dalam zona nyaman yang kita sebut kampus. Saat mudah saja merelakan segalanya untuk yang lainnya. Apa nanti akan tetap sama?
Saat mudah saja kita mengulurkan bantuan saat saudara kita kesulitan. Apa nanti akan tetap semudah ini?
Menerapkan itsar meski diri sendiri masih terlilit? Mencintai saudara meski urusan rumah telah menyita seluruh daya dan upaya? Masihkah kita 'satu tubuh'? Menyadari kesulitan saudara bahkan sebelum ia bicara, apalagi meminta.
Masihkah?

Atau kita hanya akan diam? Pura-pura tak melihat kesulitan oranglain, bahkan meski itu tetangga sebelah rumah, meski itu saudara satu lingkar cahaya.
Menutup mata. Membutakan hati.

Sahabat. Saudara. Atau apapun yang kita letakkan dalam bingkai 'ukhuwah', tak ditentukan dari bagaimana kita bersikap antar sesama saat ini. Tapi nanti. Ketika seluruh realita dan dinamika hidup tiba, masihkah kita mampu membantu saat diminta (kalaulah menyadari sebelum ia bicara terasa sulit luar biasa)?
Atau ukhuwah, hanya cerita masa muda. Pelengkap romantika perjalanan dakwah aktivis kampus, lalu pupus.
Atau bahkan... mungkin kitapun belum sepenuhnya memahami bagaimana 'ukhuwah', lalu bagaimana kita berani bicara bahwa ukhuwah ini takkan lekang dimakan usia?

Senin, 26 Mei 2014

Sahabat Kecil

Ada banyak hal yang berkelindan dalam memori. Kita menapak masa dengan berupa-rupa cara. Malam ini pikir kita berkelana, bukan ke masa nanti, tapi ke masa yang pernah dilewati. Serpih memori punya caranya buat kita merasa berharga. Atau dalam kondisi yang sama menemukan mutiara hikmah yang terselpi di antaranya. Sebab memori tak kan ada yang mampu kita sebut 'percuma'.

Kita berjalan di atas tapak misteri. Merangkai hidup kita jadi bentuk yang kini dengannya kita dikenal oleh manusia. Tak lekang memori bertanya, 'darimana kita dapat ini semua?' Sebab manusia tak ada yang seutuhnya menjadi dirinya. Kita, dan siapapun yang kini menapak di atas bumi adalah adonan pengalaman. Percampuran dari nasihat, kritikan, doktrin, ujian dan mungkin bully yang pernah kita dapat di dalam perjalanannya.

Kemudian memori berkelana, tentang sosok yang selalu ada dan menguatkan semasa kita masih terlampau pemula menghadapi dunia. Ada ujian sederhana yang buat kita jeri. Ada hadiah biasa yang terasa sebagai potongan syurga yang jatuh ke bumi. Lalu ada....
Sepasang tangan yang menggenggam jemari, bahu yang rela disandari.
Aku berhenti sejenak,
Apa benar ada?

Memoriku mengembara, mencari jemari kecil yang menyimpan tangan kecilku dalam genggamannya. Mencari tangan mungil yang mengusap air mata duka. Mencari wajah sumringah mungil yang hadir di muka.
Tak ada.
Aku mencari sekali lagi dan tetap tak ada.
Sekali lagi, dan...
Tak ada tangan mungil yang kutemukan. Namun ada tangan besar yang menghangatkan, yang menangkupkan sepasang tanganku dalam genggamnya. Yang mengangkatku ke bahu untuk mengenalkan angkasa juga mimpi untuk masa yang kan tiba. Yang mengajarkanku memproduktifkan duka. Menemukan hikmah di antara segalanya. Bahagia karena tersenyum, dan bukan menunggu bahagia untuk tersenyum.

Dalam kelana memoriku aku tak menemukan teman kecil tempatku bernaung. Tapi sebatang kayu dalam genggaman dan berak-rak buku yang menemani lelapku. Menyimpan airmata dalam aksara, menyerap airmata dalam lembar-lembar penuh kata. Hingga akhirnya segalanya terasa begitu berharga. Dan aku mampu memakna hidup dalam pandang yang sedikit berbeda.

Maka jika ada yang bertanya tentg teman masa kecil, akan kusebut ia dengan bahagia. Orangtua yang tak pernah lelah dan terus memahami meski bagaimana sulitnya aku, dan pena serta lembar kertas yang menjadi teman setia berbagi cerita.

Minggu, 25 Mei 2014

Cinta dalam Aksara

Seseorang bertanya padaku tentang mengapa aku menulis.
Seringkali jawabannya sederhana saja. Seperti mengapa kita tetap mencinta seseorang meski berat. Cinta telah menjadi satu alasan yang mewakili segalanya. Sebab aku cinta, karenanya aku tetap merangkai kata.

Seringkali tak masalah meski kita menulis pada lembar daun, meski kita tahu sepuluh tahun lagi tentu saja daun itu tak kan tinggal di tempat yang sama, ia akan mengembara. Ke tempat yang tak kan bisa kita analisa.

Tulisan adalah nafas hidupku. Seperti gurat-gurat pada batang pohon yang menua. Seperti embun di pucuk daun kala pagi tiba. Menulis adalah bukti bahwa aku hidup, hiburan sederhana di tengah penatnya tantangan dunia.

Menulis adalah satu dunia yang bisa kita cipta, yang bisa kita rangkai sesuka kita. Menulis adalah satu cara kita mengungkap rasa sederhana menjadi lebih luar biasa. Menulis adalah satu cara kita tahu seberapa jauh kita telah berjalan dan mengevaluasi bagaimana kisahnya.

Dunia begitu dinamis di luar sana, ada banyak uji yang kan menerpa. Menguji nurani mana yang dapat tegap berdiri di tengah realita. Dunia begitu pekat di luar sana. Pikir kita bisa mengeruh karenanya. Mengaburkan idealisme masa muda dengan tuntutan berbagai kepentingan yang menelusup perlahan ke dalam diri.

Menulis adalah satu cara menyimpan kisah dalam aksara. Menjaga pikir kita tetap murni dan sederhana. Mengingatkan bagaimana kita punya mimpi dan harap luar biasa bagi dunia. Menyadarkan kita tentang banyak hal yang mungkin saja bisa lupa seiring masa. Bisa tergilas waktu dan tuntutan kehidupan nyata.

Menulis adalah kata yang bersayap. Yang bisa diam di satu tempat, atau terbang ke banyak tempat tergantung penulisnya. Saat ia diam, ia jadi harta yang kan buat kita tertawa sendiri 10 atau 20 tahun lagi. menertawakan kekonyolan yang kita buat di masa silam. Menertawakan masalah sederhana yang termakna begitu sulit. Seperti menertawakan kucing yang terjebak dalam benang yang ia urai sendiri.

Atau membuat kita tertegun dengan beberapa jenak peristiwa. Menyadari bagaimana hidup pernah termakna begitu sederhana. Menyadari bagaimana asa pernah begitu luar biasa di kepala kita. Menyadari bagaimana kita saat ini terlalu bersandar pada realita yang membuat kita terdiam di tempat yang itu-itu saja.

Kata juga bisa terbang. Berkelana jauh dan berlabuh di tempat yang tak lagi kita tahu. Saat ia diizinkan pergi dari file pribadi atau buku yang kita simpan sendiri, ia akan terbang jauh. Berpindah tangan satu ke yang lainnya. Mengganda, Menduplikasi. HIngga suau hari mungkin kita akan tertegun bagaimana kita yang biasa saja bisa hidup sejauh itu. BIsa hidup lebih lama dari apa yang tertulis di batu nisan kita. Tak lekang oleh perhitungan masa..

Menulis membebaskan kita merangkai sebuah dunia. Membebaskan kita bermimpi melampaui realita. Menawarkan napas segar bagi penatnya kehidupan nyata. Menawarkan usia yang lebih panjang dari catatan masa kita.
Menulis adalah cinta. Karenanya aku tetap merangkai kata.

Selasa, 29 April 2014

Larik Jingga Langit Senja

Malam, Kinara...
Sore ini langit indah sekali. Tak hanya sore ini sih. Beberapa hari ke belakang sore selalu terlihat begitu indah.
Egoku tentang beberapa hal perlahan menelusup sela pikir. Tentang syukur yang tergaris panjang dan keinginan berbagi dengan seseorang.

Sore mulai berakhir dan lagi-lagi malam menjadi latar waktu perbincangan kita. Tapi keindahan sore tadi tetap saja melekat di ruang memori kita.

Malam, Kinara.
Sore adalah satu cipta dari banyaknya penciptaan Sang Maha Luar Biasa. Kamu lihat bagaimana mentari jatuh dan larik-larik cahaya yang terurai begitu anggun. Seakan Sang Pencipta tengah menyuratkan cinta-Nya pada hamba-Nya. Seperti kekasih yang setulus hati melukis untuk kekasihnya. Tapi ini lukisan Allah, Kinara. Yang indahnya tiada banding. Bahkan untuk mengangkat kamera saja terkadang aku segan. Bagaimana kalau mata teknologi tak mampu mengabadikan keindahannya secara sempurna?
Kinar, karya yang luar biasa dihasilkan oleh seorang maestro. Keindahan yang luar biasa dihadirkan dari cinta yang juga sempurna. Rindu, Kinar. Rindu akan perjumpaan dengan maestro yang sempurna. Jika karyanya begitu indah, maka bagaimana mungkin penciptanya tak agung?
Sungguh, Kinar. Keindahan sore ini membuatku menikmati jalan lebih dari biasanya. Membuatku lebih memilih menggariskan jalan dengan roda ban daripada diam dalam ruangan. Sebab sore seakan memanggil, mengindahkan hati yang perlahan mulai sedikit mengabu.

Dan satu lagi, Kinar. Sore seperti ini membuatku ingin menghabiskannya dengan seseorang. Duduk di meja makan beratap langit atau sekedar terdiam di tanah lapang. Duduk saja, dan berbincang sesekali tentang matahari atau apapun dalam catatan hidup yang pernah dan akan dijalani. Duduk saja, menikmati matahari yang perlahan bergeser tempat. Menyinari bagian bumi yang lain. Dan hilang perlahan dari langit sini dengan kesan yang begitu indah.
Kinara, jika suatu saat aku pergi. Apakah keindahan akan mengiringi kepergianku? Apakah kesan yang indah itu akan tetap ada meski aku telah tiada?

Malam, Kinara.
Jika suatu hari kita telah selesai dengan urusan kita di bumi. Semoga langit tak jeri menerima kepulangan kita kembali. Semoga Pemilik Keagungan mencatatkan cerita indah tentang perjumpaan kita dengan Sang Kreator Luar Biasa. Dan semoga halaman terakhir catatan kita di bumi juga tertulis indah dan terkenang indah bagi yang masih punya masa.

Jadi, selamat malam, Kinara.
Dan bersama rembulan yang makin meninggi. Juga jalanan yang semakin kita kenal, semoga Allah menjaga semua tapak kita. Dan mengiringi segala keputusan yang kita buat.
Selamat malam, Kinara.
Semoga selimut malam bisa mengangkat lelah setelah seharian berjalan.

Senin, 14 April 2014

Tapi Sisanya Tetap Sama

Malam ini langit syahdu membawakan kisah tentang kita
Mengalun dengan irama lambat malu-malu
Ada dawai celah ilalang dalam tempo satu-satu
Mengiringkan suara tentang kisah kita yang semakin menua

Kamu masih sama saja dengan pertama kali kita bertemu
Binar pagi yang tak pernah meredup dari saat itu
Kamu masih sama saja dengan perjumpaan kita pertama kali
Suara santun yang menggugurkan segala ragu

Lambat kupalingkan wajah ke arahmu
Ada sedikit guratan di tepi matamu saat ini
Tapi sisanya tetap sama :
Ada pancaran semangat juga hati yang hangat

Perlahan kita beranjak dari kursi rotan yang berderit
Menambah romansa malam yang kembali kita selesaikan berdua
Si kukuk, hadiah dari anak kita yang pertama, berkicau
Seakan menggodamu yang kini membungkus hangat telapak tanganku
Tanganmu tidak selembut pertama kali kita berjabat
Tapi sisanya tetap sama :
Kehangatan yang membuatku merasa terjaga


Angin mulai bertiup pelan
Sang ilalang mulai bergoyang lamat-lamat
Satu anak rambutku jatuh ke pelipis
Lembut kau rapikan ia kembali ke tempatnya
Kamu tidak setegap pertama kali kita menghabiskan waktu bersama
Tapi sisanya tetap sama :
Perhatian dan rasa cinta yang membuat segala ragu enggan menetap

Kamu semakin menua
Tapi sisanya tetap sama :
Rasa cinta dan kesetiaan yang telah kita nikmati sepanjang perjalanan ini
Akupun semakin menua
Tapi sisanya tetap sama :
Mata yang hanya memandang ke arahmu saja. Hati yang tak pernah alpa merasakan kehadiran dan rasamu.
Maka nikmat Tuhan yang mana yang mau ku-ingkari?

Minggu, 13 April 2014

Sepotong Bait Rindu


Pertemuan kita singkat saja, dan kelanjutan cerita yang juga hanya sekelebat. Tapi ada bayang yang hingga kini tetap jua bersikukuh untuk lekat.
Hei Zeta, apa titipku pada angin telah sampai ke telingamu?
Tentang bagaimana sekali waktu ada rindu yang melekat di satu-dua ruang pikir.

Tapi, kau tahu...
Allah begitu menyayangi kita. Sangat. Aku juga tak tahu bagaimana kisah ini akan berakhir. Entah dengan kamu atau yang lainnya. Tapi untuk jenak ini, mungkin Allah ingin agar kita menjaga ruang kita masing-masing dan memenuhinya dengan hal-hal yang jauh lebih berharga daripada sekedar pertemuan pelepas rindu.

Hei Zeta,
Apa kabarnya.
Belakangan ada waktu dimana aku takut sekali untuk bertemu. Hingga degup jantung yang begitu berirama mampu membuat semilir angin yang biasanya lekat di telinga terdengar begitu hampa. Kamu tahu bagaimana rasanya aku ingin membawa bantal, atau menyimpan jantungku di salah satu ruangan. Studio misalnya. Biar kamu tak bisa mendengar degupnya dan aku bisa menghadapimu dengan lebih tenang.
Kadang ada kalanya aku ingin membeli topeng kamen rider, hanya agar kamu tidak bisa melihat mukaku yang merah padam setiap kali melihat siluetmu dan cara berjalan yang hampir kuhafal.

Tapi Zeta,
Kamu tahu bagaimana Allah menyayangi kita? Dan seakan menunda setiap perjumpaan yang mungkin kita lakukan.
Kamu tahu bagaimana Allah menjaga kita? Dan seakan memberi batas perjumpaan meski kita berada di ruang yang sama.
Kamu tahu bagaimana Allah melindungi hati kita? Dan seakan membuat mata harus melihat ke arah yang berbeda meski kamu ada disana.

Jadi, Selamat malam, Zeta..
Dan seiring malam yang bergulir, semoga keberkahan sentiasa melimpah padamu, sebagaimana gemintang melimpah di langit malam.

Sabtu, 12 April 2014

Lab Malam

Malam, Kinara....
Setelah satu hari dua malam berdiam di lab, akhirnya tahap kedua dari metode pertama penelitianku selesai.

Ada satu hal yang kerap kali membuatku sedih, bahwa tidak ada yang menawarkan diri saat aku butuh bantuan. Hahha. Tapi sekarang aku mencoba melapang hati, sebab ada begitu banyak hal dalam hidup yang mesti diurusi. Maka sekedar berjalan sendirian sesekali seharusnya tak masalah. Tapi memang beginilah aku, bahkan hanya dengan sepi dan gelap saja aku kesulitan. Tapi, aku percaya bahwa Allah begitu baik. Seperti hari ini. Setelah meminta banyak orang dan tidak ada respon, aku meminta seseorang secara langsung. Aku tak bisa memaksa, Kinar, dan akan sangat bersyukur saat ada yang mau membantu. Dan hari ini, aku ditemani seseorang ke Lab yang ternyata sangat ramai.
:D

Semuanya selesai cukup larut, dengan kondisi ponsel yang mati, aku asik saja mengerjakan segalanya. Dan begitu aku tiba di kamar dan menyalakan ponsel, beberapa sms masuk. Satu diantaranya pesan personal. Aku orang yang sulit meminta bantuan, Kinar. Dan tentu saja tak banyak mendapat bantuan langsung ataupun perhatian tersurat. Maka saat seseorang yang memang kutahu baik -dan selalu baik meski kadang bisa menyebalkan. Hahha- menawarkan bantuan di saat yang tepat, entah kenapa tiba-tiba saja haru itu menyeruak. Hahha. Aku terlalu perasa sepertinya.

Kinar, aku hanya mau titip kata bahwa aku mencintainya karena Allah. Satu dari sahabat terbaik yang kumiliki.
Kata itu tak perlu sampai padanya, aku hanya ingin menceritakannya saja. Sebab aku tak pernah cukup baik mengungkapkan sesuatu. Maka paling tidak, aku ingin membantunya dengan tak lagi banyak bicara.

Dan selamat malam, Kinara.
Semoga berkah Allah menjadi selimut malam bagimu, baginya, dan kita.
:)

Sabtu, 05 April 2014

Tentang Pilihan dan Dendang Doa

Hei Kinara. Hei Ular besi.
Mungkin ada kalanya dalam hidup kita mesti salah memilih. Sekedar agar kita tahu bagaimana luar biasanya rencana yang digariskanNya. Mungkin begitu yang saat ini kualami.
Ada dua hal yang kerap kali mengganggu pikiranku belakangan ini. Tentang menarik ulang keputusan, dan perjumpaan dengan seseorang.

Kinara,
Ada satu hal yang selalu kudendangkan dalam doa yang diam. Semoga tak pernah menyesali setiap langkah yang telah diambil. Pun tentang ini, berkali aku meyakinkan diri bahwa segalanya akan baik. Bahwa segalanya masih dan selalu bisa diperbaiki, ditata ulang.

Beginilah aku, Kinara.
Tak pernah punya cukup kekuatan untuk berhenti. Beginilah aku, Kinara. Tak pernah bisa berhenti dari sesuatu yang telah kupilih untuk dijalani. Bagaimanapun lelahnya, bagaimanapun kesalnya.

Ini bukan karena banyak orang menahanku untuk tetap tinggal. Ini bukan karena banyak hal yang cuma aku yang bisa mengerjakan. Tapi... sebagaimana sulitnya memulai, begitu pula sulitnya berhenti. Aku tak pernah punya cukup kekuatan untuk berhenti, Kinara.

Aku tak pernah punya cukup keberanian untuk berhenti seperti yang lainnya. Aku tetap tinggal. Aku tetap bertahan. Hanya karena aku takut menyesal telah meninggalkannya. Bagaimanapun, menyesali apa yang telah kita lakukan (semoga) lebih baik daripada menyesali sesuatu yang tidak kita lakukan. Maka untuk setiap hal yang aku mau, seringkali tanpa sadar aku memulainya dan (lagi-lagi) tidak bisa berhenti. Meski di tengah jalan aku tak lagi tertarik.

Ini tak hanya tentang hobi. Tapi amanah dan sebagainya pun begitu. Aku pernah satu kali meninggalkan sesuatu yang tak kusuka. Dan sesuatu yang tertinggal jauh lebih menyesakkan daripada jika aku melanjutkan meski berat. Karena itu, aku mencoba untuk tak lagi pernah berhenti di tengah perjalanan. Meski patah, meski terseok, meski bosan, meskipun... orang di sekitarku begitu luar biasa dan aku hanya tambahan. Aku tak pernah lagi punya cukup kesanggupan untuk berhenti.

Kinara,
Kau boleh menganggapku bagaimanapun setelah membaca tentang ini. Tapi doaku akan selalu tetap sama, Kinara. "Semoga aku tak pernah menyesali apapun"
Jika memang sudah terlanjur dijalani, maka biarlah kutapaki hingga akhir. Mungkin Allah punya rencana untukku. Dan apalagi yang bisa jadi energiku selain Rasa Percaya terhadap takdir Allah dan gores naskahNya?
Dan bila aku salah langkah atau kurang waktu untuk menggapai cita yang kumau, maka semoga Allah selalu mengizinkanku memiliki sumber energi yang berlebih. Dan lagi... semoga... dan yang paling semoga adalah... semoga aku tak pernah mendzolimi atau menyakiti siapapun.

Senin, 31 Maret 2014

Berhenti

Jika suatu hari kamu terbangun dan melihat sekitarmu telah meranggas
Kamu tertidur begitu lama hingga tak tahu bagaimana rupa dunia
Atau menolak untuk tahu
Hingga ketika kamu sadar segalanya telah berganti begitu banyaknya.

Alam telah meranggas
Pun hati-hati yang biasa kamu jadikan sandaran telah jauh
Yang ada di depanmu hanya jejak petualangan
Dari petualang yang tak kunjung pulang

Dan apakah kamu juga akan berhenti?
Memutuskan ceritamu henti hingga titik ini saja
Apa terdengar olehmu bisik halus senja yang memintamu menyapanya?
Apa terasa olehmu sengat mentari yang minta ditenangkan?
Apa terlintas dalam pikirmu, tentang rakit yang minta berlayar?

Minggu, 30 Maret 2014

Seratus Menit yang Ramai

100 menit ke sekian kalinya di atas ular besi.

Hei, siang Kinara. Apa kabarnya?
Siang ini matahari begitu terik. Panas sekali. Ada rasa-rasa yang terbakar. Ada sesuatu yang tertahan.

Kinara, dalam perjalanan sesuatu mengalir tak selalu ringan prosesnya. Ada sesak seperti yang kerap kali kita bicarakan. Dalam dendang gemintang yang bicara lewat pijar.

Hei Kinara, apa kabarnya?
Dalam pilinan cerita, ada sesuatu yang kuselipkan di antaranya. Tentang keyakinan di antara semua kesah. Tentang harapan di antara mimpi yang menganga. Tentang kecemburuan dan rasa tak mau kalah.

Hei Kinara.
Ular besi kali ini tak kulalui sendiri. Ada banyak orang hari ini. Tapi... kamu tahu bagaimana aku sedikit kesulitan melebur praduga? Tentang sesuatu yang tak bisa keluar dari bayang. Tentang sesuatu yang tetap menguncup.

Hei Kinara,
Satu jalan keluar dari ini adalah berlari. Melabas segala ketakutan. Membangun percaya akan matahari esok hari.
Mungkin tak apa keluar dari lingkaran hidup kita yang biasa dan memulai lingkaran baru. Selama dunia kita masih muda. Selama dunia kita belum tua.

Kamis, 27 Maret 2014

Menguap

Selamat malam, Cahaya. Selamat malam, Kinara.
Kamu tahu bagaimana aku merindukan kita bertegur sapa lewat baris kata? Ah, mungkin kamu tak kan sepaham itu. Jadi biar aku katakan, aku merindumu dan baris kata yang biasa kubariskan untukmu. Ada waktu-waktu kosong dimana seharusnya aku bisa membariskan beberapa untukmu. Sekedar berbagi tentang cerita hari ini. Tapi ada beberapa hal yang akhirnya membuat mereka urung untuk berbaris. Sekedar alasan klise sebenarnya, rasa malas, ngantuk, lelah, atau rindu dengan mimpi yang seolah lebih menggoda untuk ditemui.

Selamat malam, Cahaya. Selamat malam, Kinara.
Ada beberapa hal yang mau aku bagi. Tapi perlahan banyak hal menguap begitu saja seiring waktu. Kata-kataku juga menguap, Kinara.. Hahha.

Menguap

Benar-benar menguap begitu saja, Kinar...
Hingga tak ada yang bisa aku tuliskan untukmu beberapa waktu ini.
Tapi kertas putih terlalu berharga untuk tetap ditinggalkan tetap putih,
Jadi biar saja kuceritakan bagaimana kata-kata itu bisa menguap.

Ya, menguap begitu saja bersama alir waktu.

Menguap begitu saja

Menguap

Dan akhirnya ....

Hilang

Minggu, 23 Maret 2014

Orang yang Luar Biasa

Halo, pagi Kinara...
Pagi ini hujan turun lagi menyapa kotanya. Ada dingin yang menelusup lewat sela. Ada janggal yang memaksa masuk. Kekosongan yang terlalu, seringkali membuat rasa sesak saat sesuatu ingin mengisinya. Pun kejadian malam tadi.

Kinar apa kabarnya?
Rasanya sudah lama sejak terakhir kali kita bertukar kata. Ada banyak cerita yang aku ingin kamu dengar.
Kinar apa kabarnya?
Ada beberapa tanya yang mau kusampaikan.
Tentang potongan rasa yang entah ego atau bukan. Tentang tanda tanya akan sesuatu yang bukan semestinya. Dan tentang ketenangan mengambil langkah di dua jalan yang entah sejalan, entah tidak.

Hei, Kinara...
Ditinggalkan dan meninggalkan adalah sesuatu yang secara rasa tak berbeda.
Kita merangkak menuju apa yang biasa disebut sebagai "dewasa".
Tapi tetap saja mungkin keputusan lama menjadi batas gerak kita. Bukan. Batas gerak saya.

Hei Kinara.
Bagaimana tentang sesuatu yang berharga. Seseorang yang berharga?
Tak banyak orang yang bisa kudengar. Tak banyak pula orang yang bisa kuingat lama. Tapi mereka yang meninggalkan bekas, tapi mereka yang luar biasa selalu memiliki orang yang lebih luar biasa baginya.
Pada akhirnya, jangankan menjadi berkas pelangi, prisma hujan sajapun kita tak mampu.
Sesuatu tentang ikhlas dan rela, mungkin seharusnya begitu. Setiap orang berdiri di ruangnya masing-masing. Jauh dari ruang lainnya. Jadi, bagaimana?
Setiap orang akan menguap. Mungkin kita hanya menguap sedikit lebih cepat dari yang lainnya....

Lalu dua hal lagi, mungkin akan kusampaikan lain kali.
Selamat pagi, Kinara. Selamat Hujan yang menghanyutkan pikir kita ke dalam bumi.

Sabtu, 08 Maret 2014

Harap Selintas

Malam Kinara...
kembali hari ini kita diam lagi dalam rahim ular besi. Tempat lain yang mengajak kita berdiam hanya bersama diri dan pikir sendiri.

Berwaktu ke belakang, hidup berjalan dengan tempo yang menenangkan. Cukup cepat hingga senyum dapat lebih lama berdiam di wajah ini.

Tapi ada waktu. Dimana aku terjebak dalam kerumitan kota bersama Ashiro -motorku-, ada jeda waktu sehingga pikir terkadang sulit terbang.
Terkadang, Kinara, ada rindu yang sulit diredam. Apalagi tiba-tiba ada sesosok siluet yang hampir mirip dengannya. Jaket kaos dengan pola khasnya.
Hahha, bagaimana ini, Kinara?
Berkali terlintas untuk menghadirkan sebuah pertemuan. Meski berkali pula lintasan pikir itu tergilas roda yang terhenti di tempat tujuan. Tapi dalam kepadatan lalu lintas kota ini, ia juga ikut menghangat bersama bau knalpot yang semakin menguat.

Hei, Kinara...
Bagaimanapun, aku tetap menikmatinya sebagai proses hidup yang kujalani.
Jadi bantu aku dan doakan agar ingin itu tak pernah terlaksana...

Selasa, 04 Maret 2014

Selamat Hujan, Kinara

Halo Kinara, hari ini hujan.
Bukan hari ini saja sih, sudah tiga hari ini hujan datang seperti nyaman dengan kota ini. Ah, mungkin bukan hanya nyaman. Kota ini mungkin seperti rumah singgahnya. Ya, ini Kota Hujan katanya. Maka wajar jika hujan bertandang begitu lama di kota ini.

Hei, Selamat hujan, Kinara. -Sesekali tak apa ya kita tak menyinggung waktu saat menyapa-.
Entah sejak kapan aku menyukai hujan. Banyak hal, Kinara. Banyak hal yang membuatku suka hujan. Tetes air yang pecah di permukaan bumi, dingin yang turut mengiring, bahkan percik kenangan yang terkadang menyapa.

Hei, Kinara...
Hujan seringkali mengurangi banyak hal yang berkelindan dalam memori, seperti penghapus papan tulis yang kita pakai setelah kelas usai. Hujan juga seringkali membantu menenangkan kekacauan hati, seperti pijat refleksi saat penat mulai menyapa. Atau musik alam yang memberikan imajinasi.

Aku suka hujan, Kinara. Apalagi saat banyak hal masuk ke pikiran tanpa permisi. Aku senang berdiri di bawah hujan, Kinara. Menikmati setiap tetesannya yang seakan memijat kepalaku yang tengah penat. Aku senang basah di bawah hujan, Kinara. Membiarkan dinginnya meresapi tubuh yang panas karena terlalu banyak emosi. Aku suka mendengarkan hujan, Kinara. Membiarkan simfoninya merapikan suara-suara tak teratur dalam kepala.
Aku suka hujan, Kinara...

Rabu, 26 Februari 2014

Re : Born

Selamat malam, Kinara.
Waktu telah bergulir banyak sekali dari yang biasa kita tapaki. Ada bermacam rasa yang minta dirumahkan. Ada bermacam cerita yang minta dikotakkan. Ada kerinduan yang minta ditebah. Ah, malam membawa kita pada racau tentang banyak kata. Tentang segala hal yang bermuara pada satu : Ketakutan.

Berjuta bayang berkelindan dalam imaji kita, ya, bagaimana mungkin ketakutan tak bertandang sementara kita selalu berdiam. Pikir itu bagai bakteri bagi diri yang membeku. Mengganda, menduplikasi hingga membusuk. Rusak. Seperti air yang menggenang. Seperti got yang mampet di jalanan ibukota. Parah.

Maka bergerak  dan biarkan segala harap-harap yang meratap bisa digarap ulang. Maka bergerak dan biarkan ketakutan tertinggal pada setiap manuver yang kita buat di persimpangan-persimpangan jalan kehidupan. Maka bergerak. Dan apalagi obat yang lebih baik bagi hati yang nyaris meranggas selain bergerak. Bila tak kau temukan cinta, maka bergeraklah hingga cinta yang kan hadir menyapa, tepat di muka. Bila kau tak temukan kenyamanan, maka teruslah bergerak hingga nyaman itu hadir dalam pergerakannya. Bila tak kau temukan kenikmatan, maka kenikmatan itu kan semakin hilang dalam tubuh yang meringkih hilang semangat.

Selamat malam, Kinara.
Waktu bergulir hingga semakin habis tubuh kita dimakan waktu. Tapi jangan buat pikir kita ringkih karena tertelan imaji yang tak punya arti.
Jadi, selamat malam, Kinara.
Sesulit apapun langkah di hadapan kita. Maju saja. Bukankah kita telah sama berjanji untuk tak berhenti?
Air mata. Luka. Bahkan kecewa.
Bukankah kita telah sama tahu, bahwa mimpi selalu punya cara buat para pejuangnya sakit kepala bahkan sesak jiwa?

Mimpi tak boleh putus. Meski berkali kita merasa rendah diri, hanya perlu semakin memperbanyak pupuk percaya, bahwa Allah tak pernah sembarang menuntun hamba-Nya. Mimpi tak boleh berbalik arah. Meski berkali jalan buntu ditemui, hanya perlu menggali lebih dalam lagi. Mimpi tak boleh tenggelam. Meski arus menghantam semakin deras atau kita tertinggal perahu yang telah berlayar jauh, hanya perlu berenang lebih keras lagi dan percaya bahwa tepian itu pasti bisa kita raih.

Jadi, selamat malam, Kinara.
Setelah perjalanan panjang yang menguras energi diri, setelah pikir panjang yang hampir meranggas hati. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk bangun dari tidur panjang yang kita lalui. Mungkin telah waktunya bagi kita untuk berdiri dan mengepalkan lembali genggam kepal kita yang sempat melemah.

Jadi, selamat malam, Kinara.
Semoga hari esok jadi tapak mula baru bagi kita untuk bangkit menyongsong harap-harap yang meratap minta digarap.

Selasa, 18 Februari 2014

100 Menit dalam Rahim Ular Besi

100 menit. Bahkan seringkali tak sampai 100 menit. Ini waktuku. Ada guncang kecil sesekali. Tapi tak pernah cukup mengganggu. Ini 100 menitku yang seringkali tak sampai sebulan sekali bisa kunikmati.
100 menitku dalam rahim ular besi.

Ada suara-suara absurd berirama. Ada guncang kecil yang melenakan. Tapi 100 menit ini sungguh cukup buat jadi cadangan energi hingga 3 bulan ke depan.
Dalam rahim ular besi, aku bebas bicara dalam baris kata yang jatuh lewat ujung jemari. Bebas pula berpikir tentang hari lalu, dan nanti. Jerat jahat yang membungkus akal sehat terurai perlahan di tempat ini. Bersama terbangnya rindu yang tak terbayar. Dan harap yang tak tergarap.

Juga bebas berpikir tentang kamu. Seseorang yang biasa kusebut Zeta. Kamu tak selalu muncul. Tapi sekali kamu tiba, seringkali rasanya cukup menepis ragu. Tentang apa saja. Tentang tempat berdiri yang tak kuharap. Tentang kesendirian yang belakangan mulai mengganggu. Tentang duga yang membuat bibir kelu.

Kamu tak bicara, hanya binar semangat yang hadir di matamu itu... rasanya meletupkan sesuatu yang mengempis di dalam sini.
Aku juga tak perlu bicara bagaimana sesekali aku mengharap kamu jatuh tak sengaja di retinaku. Tapi bagaimana? Aku juga telah berjanji tak membiarkan bayang imaji menguasai. Hanya khawatir dengan segala euforia yang biasanya hadir kemudian.
Jadi bagaimana? Biar Tuhan lagi yang menerima segala titip harap yang muncul malu-malu. Hingga nanti. Hingga nanti jika semuanya memang digariskan begitu adanya.

Jumat, 14 Februari 2014

Menyerah (?)

Saat dua kebutuhan berpapasan, maka terkadang harus ada yang mengambil langkah mundur.

Kinara, pagi ini aku di kandang kuda, memandang kuda yang tengah sarapan. Ada kuda kecil, Kinar... yang waktu itu masih sekaki ibunya, sekarang sudah lebih besar. Tiba-tiba, aku ingin bisa berkuda, Kinar. Hahha..

Ohya, Kinara apa kabarnya?
Beberapa waktu aku bertahan buat tak bicara. Mencoba menyaring segalanya sejernih mungkin. Tapi tetap saja keruh. Hahha
Aku...lagi-lagi cemburu. Berkali-kali. Padahal aku pikir aku sudah berdamai dengan rasa-rasa itu. Hahha. Mungkin ada sesuatu yang kurang dariku ya Kinar?

Hei, Kinar...
ternyata memang selalu lebih mudah bicara denganmu. Apa mungkin... sudah waktunya aku menyerah ya, Kinar?
Menyerah untuk membiarkan oranglain mendengarku, menyerah untuk membiarkan oranglain meluruskan pikiranku.
Entah bagaimana, mungkin mereka kira aku sangat kuat atau sangat sabar untuk menunggu terlalu lama. Aku bosan, Kinar... tentang mengalah dan segalanya itu. Waktu telah diserap habis hingga tak ada lagi untukku. Yasudah, kita ciptakan saja waktu, tentangku dan Kinara. Saja.

Kinara....
Kalau suaraku tak terdengar, mungkin lebih baik aku hilang. Menghilangkan diri dalam kepadatan waktu yang tak kunjung usai. Biar semua pikir tak punya ruang lagi untuk hadir. Biar tak ada yang perlu disampaikan. Biar tak ada lagi kebutuhan akan kehadiran yang lainnya. Biar tak perlu lagi menunggu.

Kinar,
Rasanya waktu belum berdamai denganku. Di saat aku perlu jawaban, semuanya hilang. Beberapa waktu lalu, kepalaku penat dengan sesuatu. Aku terus mencoba tak bicara. Membiarkan segalanya menemukan muaranya sendiri. Tapi kepenatan itu bukannya berkurang malah bertambah. Hingga ada cemburu, lagi-lagi, memenuhi rongga. Aku tahu menyimpannya bukan hal baik. Lalu, aku minta seseorang sejenak menjadi tempat. Awalnya semua baik, tapi tepat saat aku baru akan memulai ceritanya, orang itu pergi. Apa ceritaku begitu membosankan? Atau ada begitu banyak keperluan? Tapi bagaimanapun, kenapa tidak dikatakan saja? Kalau memang siap, kalau memang masih tak ada waktu, kalau memang tak mau. Pada akhirnya, semua selalu tak ada saat memang dibutuhkan.

Pada akhirnya, tetap saja aku ingin seseorang datang

Aku lapar, Kinar. Masih ada waktu sebelum jam 9, mari sarapan.. :)

Senin, 10 Februari 2014

Quote (5) - Batas

Dengan segala kelemahan
Kumohon padaMu ya Tuhan
Berikan secercah harapan
Tuk lampaui keterbatasan...

-Theme song ARESTA-

Kamis, 06 Februari 2014

Hidup

Di penghujung malam ini kita saling bercerita tentang segala
Berbagi kasih dalam bentuk yang tak biasa
Alam masih menyimpan berkas memori yang selaksa
Selama apapun masa, rindu itu tetap saja
Mengintai-intai sepanjang tapak senja
Ada bayangmu di garis khatulistiwa
Sayap peri yang menjelma jadi sebuah rupa
Ada rantai mata doa, yang tak pernah hilang kata

Kita bermimpi, tentang hari pasti di masa nanti
Kita berjanji, menikmati segala yang kita jajaki
Kita mencoba, tak pernah menyesali yang kita tapaki
Masa kemarin, hari ini, bahkan nanti
Segala yang terjadi pasti berarti
Kita belajar percaya tentang mimpi-mimpi
Menjadikannya energi yang tak pernah mati
Kita belajar percaya bahwa Allah selalu di sisi
Membantu segalanya dan mengizinkan yang terbaik terjadi
Kita...dan mimpi yang menunggu jadi

-RunaAviena, di silih waktu penelitian skripsi-

Rabu, 05 Februari 2014

Quote (4) - Gegas

Hari demi hari, kita akan semakin mencapai langit, Kinara!
Tetap maju! Terus saja maju!
Apa kamu bisa merasakan semilir semesta?
Ayo bergegas! Apa lagi yang ditunggu?
-RunaAviena, Senja Lab Miktek-

Senin, 03 Februari 2014

Bertahan

Sore Kinara,
Kampus beberapa hari ini begitu sepi. Wajarlah, ini hari libur, Kinar. Kehidupan seakan hanya ada di beberapa titik saja. Tadi aku berkeliling, mencari jalan ke lab tempatku penelitian. Jarak yang dekat terasa jauh ternyata, Kinar. Banyak pintu-pintu yang dikunci hari ini.
Kinar, Kinar.
Kau tahu, sepi seperti ini membuat bayang-bayang abstrak sering menyapa. Pun niat-niat yang juga tak seharusnya dipikirkan. Kinar, sepi seperti ini seringkali membuat rindu-rindu hadir tanpa permisi. Apalagi waktu senggang yang lumayan dengan kegiatan yang setiap hari namun tak banyak. Menahanku tetap di Kota Hujan.

Ini Kota Hujan, Kinar...
Dengan cuaca yang seringkali bersahabat dengan imaji. Simponi hujan yang berduet dengan romentisme alam seringkali membimbing harap melambung menuju apa yang biasanya tak mampir di waktu yang biasa.
Ini Kota Hujan, Kinar...
Dan hujan, seringkali mampu membimbing memori kita ke tempat-tempat penuh kenangan. Menggali memori kita ke sudut-sudut yang nyaris usang. Menjemput rindu akan beberapa kejadian. Hingga sesekali ada niatan untuk mengulang beberapa hal.

Lalu kenapa?Apa itu salah, Kinar? Berpikir itu manusiawi toh? Berharap juga hal yang biasa saja sebagai manusia. Tapi pertanyaannya sekarang kan tinggal apakah dilakukan atau diurungkan?
Allahpun tak memberi dosa buat setiap niat buruk yang terlintas, namun dosa itu baru ada ketika niat itu jadi dikerjakan. Bahkan Allah memberi balas pahala untuk setiap niat buruk yang diurungkan.
Kinar, mungkin memang sulit menahan sesuatu yang diniatkan. Apalagi kalau hal itu tampak menyenangkan, meskipun sejatinya sia-sia bahkan merugikan. Mungkin karena itu pula Allah memberinya harga seperti melakukan kebaikan.

Kinar, Kinar, Kinar...
Ada banyak hal berharga disini. Lingkungan yang kondusif, teman yang selalu ada, sahabat yang hampir seperti keluarga, dan segalanya. Syukur itu segalanya bukan? Dalam banyak cara, banyak ekspresi, banyak jalan. Maka bagaimana aku tak bersyukur tentang segala yang saat ini ada? Maka biarlah, niat itu kuurungkan. Semoga saja Allah dapat menghitungnya sebagai bentuk syukurku atas segala kondisi yang telah Allah gariskan ini. Aku hanya ingin belajar bersyukur, Kinar. Mempertaankan segalanya tetap dalam batas, tetap dalam koridor. Keinginan itu ya ada, niat juga sesekali tetap saja, tapi masalahnya sekarang kan tinggal dikerjakan atau diurungkan, semoga saja Allah selalu memberi kekuatan untukku bertahan.

Kamis, 30 Januari 2014

Rasanya Lucu Saja

Kinara, kadang rasanya lucu.
Banyak hal yang sangat berbeda. Setiap kita punya kesulitannya sendiri. Alih-alih tak bersyukur, jauh di dalam sini aku belajar menahan buncah riang mengenalmu. Hanya agar kamu tak terlalu kerepotan denganku yang juga kadang sulit menahan ucapan.

Tapi setiap orang punya kesulitannya sendiri. Aku sulit menahan ucap kalau itu tentang riang. Tapi juga sulit mengungkapkan permintaan.
Sementara kamu? Sesekali kamu bilang, kesulitan menghadapi aku yang terlalu banyak kiasan. Apalagi kadang aku ingin main, sementara waktu luangmu mesti dicari benar. Hahha...

Kinar,
Kadang aku tertawa sendiri, kebingungan tentang bagaimana bisa aku masih merasa kurang. Bukannya tak bersyukur. Kadang aku hanya berpikir untuk sejenak waktu bersama. Berbicara tentang hal-hal ringan atau mendengar sepotong ceritamu. Bahkan meski itu hanya hal-hal tentang kerjaanmu yang tampaknya melangit.
Tapi kamu selalu memberi lebih, mengusahakan lebih. Saat aku berpikir tentang 30 menit, kamu menyiapkan 120 menit bahkan kadang 6 jam. Bagaimana mungkin aku tak berterima kasih?

Tapi kadang lucu. Bagaimana aku merasa waktu selalu kurang. Aku paham dengan waktumu yang tak banyak. Tak mungkin memberi setiap orang terdekatmu waktu khususnya masing-masing. Maka sungguh, terimakasih tak berbilang. Hanya saja, seringkali -mungkin tak kau sadari- beratus-ratus menit yang kau siapkan hanya untuk sebuah agenda bersama, seringkali tanpa dialog bermakna. Hanya pertanyaan sederhana seperti "mau kemana" dan lebih banyak sunyi. Atau ajakan pergi yang ternyata kita berangkat bertiga. Tidak salah, sama sekali tidak. Mungkin aku tak pernah bilang, (jadi kamu tak pernah tahu) aku buruk dalam komunitas berjumlah ganjil. Hahha. Ada ketakutan tak beralasan. Ada waktu dimana aku merasa disisihkan. Maka selalu, kutarik napas dalam dan meyakinkan diri semuanya akan baik. Tapi selalu, di tengah interaksi aku kembali takut, apalagi kamu jarang sekali bicara. Apalagi langkahku selalu yang paling lambat. Apalagi suaraku selalu yang paling pelan, atau tinggi sekalian.

Woohoo.
Aku sungguh tak menyalahkan. Aku hanya merasa lucu, bagaimana ternyata yang aku rindu bukan sekedar hadirmu tapi ceritamu. Kadang rasanya tak masalah menunggu atau berada jauh asal aku tahu bagaimana kamu berkembang, kapan kamu ada masalah, atau hal-hal lainnya.
Hemm... mungkin sebenarnya yang aku perlu bukan kamu, tapi ceritamu, tapi kepercayaanmu padaku. Hahha.

Tapi tak apa. Aku tahu dan berusaha mengikuti sejauh yang bisa kamu pahami saat ini. Sebagaimana kamu juga berusaha mengikuti mauku yang kadang tak tentu bahkan keras kepala. Sebab aku memang sulit, jadi aku mencoba untuk meminta sejarang dan setenang yang aku mampu.

Tapi tak apa. Meski kadang terasa kurang, tapi aku tahu sulitnya kamu menyediakan waktu, maka sungguh, selalu terima kasih tak berbilang untukmu.

Tapi tak apa. Sampai waktu kamu merasa aku cukup layak untuk jadi pendengar ceritamu, aku tak akan memaksa. Dan akan mencoba maju secepat dan sejauh yang aku mampu. Sampai kita bersisian, sampai kamu mau percaya.

Senin, 13 Januari 2014

Malam Ini Kosong Saja

Ki-na-ra.
Malam ini tentang kosong saja. Mataku berputar lambat, tp kepalaku serasa dikocok. Mukaku memanas sejak tadi, entah memerah atau tidak.

Kinar, aku mau bicara. Tapi entah tentang apa. Mungkin sebenarnya malah tak ada.

"Kinara... kinara... kinara..."
Ah, mungkin memang tak terdengar. Suaraku memang kecil sejak lama. Apalagi gaung sekitar begitu membahana. Suaraku sempurna hilang sepertinya.
Nanti saja, kalau aku mampu menunggu hingga kini, maka menunggu sebulan lagi pun tak kan berarti. Nanti saja, sampai ada tempat yang cukup sepi dan kau bisa dengar suara lirih.

Kinara...
Mataku berputar lambat. Tapi kepalaku serasa dikocok. Mukaku memanas sejak tadi. Kupikir karena terik matahari, tapi ini sudah malam dan panasnya tetap ingin tinggal...

Malam ini kosong saja.
Aku cukup tahu diri untuk memanggilmu dari jauh. Kalo waktunya cocok, aku tahu kamu pasti berbalik.

Karakter

Kinara, akhir-akhir ini banyak orang yang begitu seringnya menggunakan golongan darah dan empat karakter utama untuk mengenal orang lain. Kau tahu kan? Tentang bagaimana kita mengira karakter seseorang dari golongan darah yang ia punya. Apakah A,B,O, atau yang paling langka dan aneh, AB. Lalu mengklasifikasi orang ke dalam empat karakter utama, sanguinis periang, melankolis sempurna, plegmatis damai, dan koleris kuat.

Hemm...
Entah kenapa aku mulai bosan, Kinar. Hidup jadi terasa sedikit terkotakkan. Pada awalnya aku juga menyenangi hal tersebut. Meraba seseorang sebelum sempurna mengenalnya. Agak menyenangkan. Setidaknya cukup membantu bagiku yang agak sulit berkomunikasi. Hahha...

Tapi belakangan, dua parameter itu seakan cukup untuk mengenal seseorang seutuhnya. Hanya dengan mengetahui golongan darah dan karakternya, lantas merasa telah sempurna tahu bagaimana sifat seseorang. Itu membosankan. Mengetahui seseorang, agaknya tidak sesederhana itu. Sebab bagaimanapun, semakin kita mengenal seseorang, semakin kita tahu bahwa banyak dari dirinya yang belum kita tahu. Maka sesuatu yang lebih kuat dari ikatan persaudaraan bisa benar-benar terasa, mengena, dan berkesan. Dua hal tersebut bagiku, murni untuk membantu bersikap di kesan pertama. Dan selanjutnya, komunikasi, waktu bersama, diskusi dan tukar pikiran, serta interaksi yang semakin banyak akan membawa kita ke kesimpulan yang tidak sesederhana itu. Namun, semakin kesini, aku melihat banyak orang rasa-rasanya menjadikan hal itu seperti titel yang melekat selamanya dalam seseorang. Hal ini jadi tidak menarik lagi, Kinar...

Belajar mengenal. Bagaimanapun seperti merangkai potongan puzzle menjadi gambar utuh. Kita boleh mulai dari sudut atau tepinya, sekedar untuk mempermudah proses perangkaian. Lalu, setelah itu, mulai darimanapun akan sama saja. Dan setiap paket puzzle tentu saja memiliki gambaran yang berbeda. Manusia tersusun dari kode genetik yang unik, fingerprint, katanya dalam sebuah kuliah. Hal yang menjadikan setiap individu itu unik. Berbeda satu dengan lainnya. Maka ketika kita hanya menilik seseorang dari dua hal tersebut, segalanya malah jadi tampak absurd dan tak logis. Perbandingan kombinasinya jadi terlalu sedikit dibandingkan dengan kombinasi yang sesungguhnya ada. Kalau kita hanya menilik seseorang dari dua hal tersebut, maka akan ada banyak manusia yang serupa. Ada sekian persen jumlah manusia dengan golongan darah A yang koleris. Ada sekian persen jumlah manusia dengan golongan darah B yang plegmatis. Jadi, dimana sisi unik yang dimiliki setiap orang?

Ah, Kinar...
Lalu setelah pengkotakkan, pikiran kita pun jadi sedikit tergugu. Seperti kutu loncat yang disimpan dalam sebuah kotak korek. Lompatannya merendah. Kita terjebak dalam mindset basi bahwa sang koleris seperti ini dan seperti ini. Bahwa sang melankolis seperti ini dan seperti ini. Maka sang sanguinis bagus menempati posisi ini atau ini. Bahwa sang plegmatis bagus sebagai ini dan ini. Lalu sebagiannya lagi mewajarkan diri. "Wajar lah saya begini, saya koleris tho?", "Wajar lah saya ga paham dia, karakter kita terlalu berbeda. Saya sanguinis, dia melankolis"

Ah, Kinar...
Kenapa tidak kita buang saja semuanya di saat kita telah memutuskan untuk saling mengenal yang lainnya. Mengenal seseorang seperti mencari jalan di kota yang baru. Hati-hati. Menikmati setiap prosesnya. Menjalani setiap langkahnya. Merangkai segalanya hingga jadi satu gambar utuh. Mungkin dengan begitu kita jadi lebih mudah menghargai seseorang, dan lebih mudah pula membantunya menuju kesempurnaan.

Rabu, 08 Januari 2014

Simpang Tiga

Pada akhirnya kita sampai sudah di persimpangan
Akhir dari jalan yang telah kita pilih sebelumnya
Yang juga mula dari jalan yang akan tiba

Kita diam sejenak,
Mencoba mencerna semesta tentang maksudnya
Mencoba meraba semesta tentang berita di depan sana
Mengamat padang ilalang yang sempurna menutup ujung jalannya
Mengamat rimbun pepohonan dan suasana yang tersangkut di rantingnya

Kita menatap lekat papan penunjuk arah
Mencoba menelisik makna dari kata yang tak seberapa
Kita hampir tanpa peta

Kamu menunduk sejenak, lalu melepas pandangmu ke langit.
Sebuah keputusan.
Kepalmu menguat, senyummu meruak

Di simpang tiga.
Kau pilih satu jalan
Aku yang lainnya
Ini bukan pertaruhan benar-salah
Selama tuju kita sama, percaya saja tentang pertemuan di muara
Kita menuju tempat segalanya bermula

Juga...
Percaya saja bahwa 'ada' tak mesti selalu 'tampak'
Kamu pula yang mengajari
tentang arti menopang tanpa bergenggam jemari

Di akhir cerita,
Kamu akan tahu bahwa kekhawatiranmu tak nyata
Di akhir cerita,
Kamu akan tahu bahwa kita bisa lari dengan tempo yang serupa