Rabu, 18 Juni 2014

Laut

Kinara, hari ini aku memperhatikan bagaimana air mengalir. Seperti yang telah lama kita tahu, ia selalu mengalir dari hulu ke hilir. Hulunya bisa apa saja, bisa darimana saja, tapi kita sepakat bahwa hilir bagi seluruh air adalah lautan.

Seperti kita yang memiliki rumah tempat kita bersandar sejenak, tempat kita melepas penat. Rumah yang sentiasa kita rindukan dimanapun kaki kita berpijak.
Maka bagi milyaran tetes air itu, laut adalah rumahnya, rumah tempat ia kembali dari perjalanannya sejak pertama ia berguling dari hulunya, atau bahkan lebih lama dari itu.

Dan andaikata kita adalah setetes air dalam pengembaraan, maka laut kita adalah Allah. Laut yang tak kan pernah bertepi. Sebab Allah adalah tuju kita, muara perjalanan kita, tempat kita bisa melepas penat lebih dari tempat manapun di muka bumi.

Jadi, selamat sore, Kinara...
Dan bersama pengembaraan kuta yang tak pernah usai hingga akhir masa, setidaknya kita telah tahu, bahwa dalam siklus perputaran hidup kita, kita punya satu muara. Tempat kita sejenak mencairkan segala konsentrasi yang hadir dalam hidup kita. Bernafas sejenak, dan merangkai kembali kesanggupan kita menjalani segala proses kita menuju pertemuan luar biasa.

Jadi, selamat sore, Kinara...
Dan seperti yang biasa kita dendangkan, 'kita ini bukan siapa-siapa tanpa-Nya, tanpa Ia sebagai muara'.

Jumat, 06 Juni 2014

Teman Makan

Selamat sore...
Perkuliahan kali ini berjalan sangat santai. Segala hal tentang bermain pura-pura seringkali menyenangkan. Ya, banyak dari kita lebih nyaman melihat tawa bahagia orang lain meski hanya pura-pura, daripada berempati terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Sore mengiring memori kita sejak mula. Meramu apa yang tlah kita jalani sejak pagi. Pagi....sekali. saat mentari masih malu-malu keluar dari dipannya.

Hei, apa menu sarapanmu pagi ini?
Masihkah sama seperti masa yang telah lamaaa sekali.
Sekantung pikiran yang minta diolah sehari ini. Rebusan semangat yang menggelegak. Dan secangkir harapan untuk hari yang kan dijalani.
Sarapanmu selalu luar biasa. Maka tak heran sehari ini kamu selalu menapak bumi dengan langkah mantap penuh arti.

Aku penikmat langkahmu. Pemerhati prosesmu. Pagimu selalu luar biasa. Begitu pula harimu.
Tapi aku penikmat proses, bukan hasil. Kamu boleh menjadi siapapun di muka dunia. Tapi jangan kenakan topengmu di hadapanku.
Saat sarapanmu telah habis terkonversi jadi energi, kamu boleh datang kapanpun, dan kita akan makan siang atau makan malam bersama. Agar asupan energimu tak pernah defisit di hadapan orang banyak. Agar semangatmu tak pernah pudar sepanjang hari.
Kamu hanya perlu datang padaku, dan aku akan mengisi penuh-penuh piring, mangkuk, dan gelas sarapanmu. Atau setidaknya, menemanimu mengisi semuanya.
Kamu hanya perlu tahu aku akan  selalu siap menjadi teman makanmu. Sebab aku penikmat proses dan segala likunya, bukan penikmat topeng bahagia yang pura-pura.

Selamat bergerak, dan jangan lupa untuk menikmati sarapanmu dengan baik.

Rabu, 04 Juni 2014

Quote (6) - Sakit

Manusia tak pernah sungguh peduli, dan tak harus sungguh tahu alasan sebenarnya kita berubah polah tiba-tiba.
.
.
.
Mereka hanya peduli tentang kapan kita kembali pulih, dan bisa bekerja  seperti sedia kala.

Minggu, 01 Juni 2014

Ukhuwah (expired)

"Sahabat"
sebenarnya tak pernah punya cukup kesanggupan menyematkan kata ini di antara kita.
Bukan karena kamu yang tak pernah ada, tp sebaliknya. Karena kamu yang selalu sedia sementara pengorbananku tak pernah cukup sepadan.

Ikhlas. Dan ukhuwah islamiyah.
Dua nama yang beriring dan mudah disebut saat ini. Sebab kita masih siswa, meski ada sematan kata 'maha' di depannya. Sebab idealisme kita masih murni, belum terbentur realita. Maka mudah saja melakukan tadhhiyah dengan hati ikhlas. Maka mudah saja mengatasnamakan ukhuwah islamiyah dan merasa paling paham dengan konsep tersebut.

Tapi perjalanan kita tak selesai hanya sampai gerbang wisuda. Justru kehidupan baru akan dimulai ketika ijazah telah diterima. Saat idealisme terbentur realita. Tak hanya tentang ukhuwah, tapi segala di luar sana akan lebih menguji seluruhnya dari kita. Namun, biarkan aku bicara tentang ukhuwah saja di rangkai kata malam ini.

Kamu yang merasa sahabat. Kita yang merasa sahabat. Setidaknya untuk saat ini. Untuk masa yang akan tiba, 10 bahkan 20 tahun lagi dari saat ini apa kita akan tetap sama? Meski kita masih sama melingkar, apa keikhlasan kita dalam berkorban masih akan tetap sama.
Hidup begitu mudah di dalam sini. Dalam zona nyaman yang kita sebut kampus. Saat mudah saja merelakan segalanya untuk yang lainnya. Apa nanti akan tetap sama?
Saat mudah saja kita mengulurkan bantuan saat saudara kita kesulitan. Apa nanti akan tetap semudah ini?
Menerapkan itsar meski diri sendiri masih terlilit? Mencintai saudara meski urusan rumah telah menyita seluruh daya dan upaya? Masihkah kita 'satu tubuh'? Menyadari kesulitan saudara bahkan sebelum ia bicara, apalagi meminta.
Masihkah?

Atau kita hanya akan diam? Pura-pura tak melihat kesulitan oranglain, bahkan meski itu tetangga sebelah rumah, meski itu saudara satu lingkar cahaya.
Menutup mata. Membutakan hati.

Sahabat. Saudara. Atau apapun yang kita letakkan dalam bingkai 'ukhuwah', tak ditentukan dari bagaimana kita bersikap antar sesama saat ini. Tapi nanti. Ketika seluruh realita dan dinamika hidup tiba, masihkah kita mampu membantu saat diminta (kalaulah menyadari sebelum ia bicara terasa sulit luar biasa)?
Atau ukhuwah, hanya cerita masa muda. Pelengkap romantika perjalanan dakwah aktivis kampus, lalu pupus.
Atau bahkan... mungkin kitapun belum sepenuhnya memahami bagaimana 'ukhuwah', lalu bagaimana kita berani bicara bahwa ukhuwah ini takkan lekang dimakan usia?