Kamis, 30 Januari 2014

Rasanya Lucu Saja

Kinara, kadang rasanya lucu.
Banyak hal yang sangat berbeda. Setiap kita punya kesulitannya sendiri. Alih-alih tak bersyukur, jauh di dalam sini aku belajar menahan buncah riang mengenalmu. Hanya agar kamu tak terlalu kerepotan denganku yang juga kadang sulit menahan ucapan.

Tapi setiap orang punya kesulitannya sendiri. Aku sulit menahan ucap kalau itu tentang riang. Tapi juga sulit mengungkapkan permintaan.
Sementara kamu? Sesekali kamu bilang, kesulitan menghadapi aku yang terlalu banyak kiasan. Apalagi kadang aku ingin main, sementara waktu luangmu mesti dicari benar. Hahha...

Kinar,
Kadang aku tertawa sendiri, kebingungan tentang bagaimana bisa aku masih merasa kurang. Bukannya tak bersyukur. Kadang aku hanya berpikir untuk sejenak waktu bersama. Berbicara tentang hal-hal ringan atau mendengar sepotong ceritamu. Bahkan meski itu hanya hal-hal tentang kerjaanmu yang tampaknya melangit.
Tapi kamu selalu memberi lebih, mengusahakan lebih. Saat aku berpikir tentang 30 menit, kamu menyiapkan 120 menit bahkan kadang 6 jam. Bagaimana mungkin aku tak berterima kasih?

Tapi kadang lucu. Bagaimana aku merasa waktu selalu kurang. Aku paham dengan waktumu yang tak banyak. Tak mungkin memberi setiap orang terdekatmu waktu khususnya masing-masing. Maka sungguh, terimakasih tak berbilang. Hanya saja, seringkali -mungkin tak kau sadari- beratus-ratus menit yang kau siapkan hanya untuk sebuah agenda bersama, seringkali tanpa dialog bermakna. Hanya pertanyaan sederhana seperti "mau kemana" dan lebih banyak sunyi. Atau ajakan pergi yang ternyata kita berangkat bertiga. Tidak salah, sama sekali tidak. Mungkin aku tak pernah bilang, (jadi kamu tak pernah tahu) aku buruk dalam komunitas berjumlah ganjil. Hahha. Ada ketakutan tak beralasan. Ada waktu dimana aku merasa disisihkan. Maka selalu, kutarik napas dalam dan meyakinkan diri semuanya akan baik. Tapi selalu, di tengah interaksi aku kembali takut, apalagi kamu jarang sekali bicara. Apalagi langkahku selalu yang paling lambat. Apalagi suaraku selalu yang paling pelan, atau tinggi sekalian.

Woohoo.
Aku sungguh tak menyalahkan. Aku hanya merasa lucu, bagaimana ternyata yang aku rindu bukan sekedar hadirmu tapi ceritamu. Kadang rasanya tak masalah menunggu atau berada jauh asal aku tahu bagaimana kamu berkembang, kapan kamu ada masalah, atau hal-hal lainnya.
Hemm... mungkin sebenarnya yang aku perlu bukan kamu, tapi ceritamu, tapi kepercayaanmu padaku. Hahha.

Tapi tak apa. Aku tahu dan berusaha mengikuti sejauh yang bisa kamu pahami saat ini. Sebagaimana kamu juga berusaha mengikuti mauku yang kadang tak tentu bahkan keras kepala. Sebab aku memang sulit, jadi aku mencoba untuk meminta sejarang dan setenang yang aku mampu.

Tapi tak apa. Meski kadang terasa kurang, tapi aku tahu sulitnya kamu menyediakan waktu, maka sungguh, selalu terima kasih tak berbilang untukmu.

Tapi tak apa. Sampai waktu kamu merasa aku cukup layak untuk jadi pendengar ceritamu, aku tak akan memaksa. Dan akan mencoba maju secepat dan sejauh yang aku mampu. Sampai kita bersisian, sampai kamu mau percaya.

Senin, 13 Januari 2014

Malam Ini Kosong Saja

Ki-na-ra.
Malam ini tentang kosong saja. Mataku berputar lambat, tp kepalaku serasa dikocok. Mukaku memanas sejak tadi, entah memerah atau tidak.

Kinar, aku mau bicara. Tapi entah tentang apa. Mungkin sebenarnya malah tak ada.

"Kinara... kinara... kinara..."
Ah, mungkin memang tak terdengar. Suaraku memang kecil sejak lama. Apalagi gaung sekitar begitu membahana. Suaraku sempurna hilang sepertinya.
Nanti saja, kalau aku mampu menunggu hingga kini, maka menunggu sebulan lagi pun tak kan berarti. Nanti saja, sampai ada tempat yang cukup sepi dan kau bisa dengar suara lirih.

Kinara...
Mataku berputar lambat. Tapi kepalaku serasa dikocok. Mukaku memanas sejak tadi. Kupikir karena terik matahari, tapi ini sudah malam dan panasnya tetap ingin tinggal...

Malam ini kosong saja.
Aku cukup tahu diri untuk memanggilmu dari jauh. Kalo waktunya cocok, aku tahu kamu pasti berbalik.

Karakter

Kinara, akhir-akhir ini banyak orang yang begitu seringnya menggunakan golongan darah dan empat karakter utama untuk mengenal orang lain. Kau tahu kan? Tentang bagaimana kita mengira karakter seseorang dari golongan darah yang ia punya. Apakah A,B,O, atau yang paling langka dan aneh, AB. Lalu mengklasifikasi orang ke dalam empat karakter utama, sanguinis periang, melankolis sempurna, plegmatis damai, dan koleris kuat.

Hemm...
Entah kenapa aku mulai bosan, Kinar. Hidup jadi terasa sedikit terkotakkan. Pada awalnya aku juga menyenangi hal tersebut. Meraba seseorang sebelum sempurna mengenalnya. Agak menyenangkan. Setidaknya cukup membantu bagiku yang agak sulit berkomunikasi. Hahha...

Tapi belakangan, dua parameter itu seakan cukup untuk mengenal seseorang seutuhnya. Hanya dengan mengetahui golongan darah dan karakternya, lantas merasa telah sempurna tahu bagaimana sifat seseorang. Itu membosankan. Mengetahui seseorang, agaknya tidak sesederhana itu. Sebab bagaimanapun, semakin kita mengenal seseorang, semakin kita tahu bahwa banyak dari dirinya yang belum kita tahu. Maka sesuatu yang lebih kuat dari ikatan persaudaraan bisa benar-benar terasa, mengena, dan berkesan. Dua hal tersebut bagiku, murni untuk membantu bersikap di kesan pertama. Dan selanjutnya, komunikasi, waktu bersama, diskusi dan tukar pikiran, serta interaksi yang semakin banyak akan membawa kita ke kesimpulan yang tidak sesederhana itu. Namun, semakin kesini, aku melihat banyak orang rasa-rasanya menjadikan hal itu seperti titel yang melekat selamanya dalam seseorang. Hal ini jadi tidak menarik lagi, Kinar...

Belajar mengenal. Bagaimanapun seperti merangkai potongan puzzle menjadi gambar utuh. Kita boleh mulai dari sudut atau tepinya, sekedar untuk mempermudah proses perangkaian. Lalu, setelah itu, mulai darimanapun akan sama saja. Dan setiap paket puzzle tentu saja memiliki gambaran yang berbeda. Manusia tersusun dari kode genetik yang unik, fingerprint, katanya dalam sebuah kuliah. Hal yang menjadikan setiap individu itu unik. Berbeda satu dengan lainnya. Maka ketika kita hanya menilik seseorang dari dua hal tersebut, segalanya malah jadi tampak absurd dan tak logis. Perbandingan kombinasinya jadi terlalu sedikit dibandingkan dengan kombinasi yang sesungguhnya ada. Kalau kita hanya menilik seseorang dari dua hal tersebut, maka akan ada banyak manusia yang serupa. Ada sekian persen jumlah manusia dengan golongan darah A yang koleris. Ada sekian persen jumlah manusia dengan golongan darah B yang plegmatis. Jadi, dimana sisi unik yang dimiliki setiap orang?

Ah, Kinar...
Lalu setelah pengkotakkan, pikiran kita pun jadi sedikit tergugu. Seperti kutu loncat yang disimpan dalam sebuah kotak korek. Lompatannya merendah. Kita terjebak dalam mindset basi bahwa sang koleris seperti ini dan seperti ini. Bahwa sang melankolis seperti ini dan seperti ini. Maka sang sanguinis bagus menempati posisi ini atau ini. Bahwa sang plegmatis bagus sebagai ini dan ini. Lalu sebagiannya lagi mewajarkan diri. "Wajar lah saya begini, saya koleris tho?", "Wajar lah saya ga paham dia, karakter kita terlalu berbeda. Saya sanguinis, dia melankolis"

Ah, Kinar...
Kenapa tidak kita buang saja semuanya di saat kita telah memutuskan untuk saling mengenal yang lainnya. Mengenal seseorang seperti mencari jalan di kota yang baru. Hati-hati. Menikmati setiap prosesnya. Menjalani setiap langkahnya. Merangkai segalanya hingga jadi satu gambar utuh. Mungkin dengan begitu kita jadi lebih mudah menghargai seseorang, dan lebih mudah pula membantunya menuju kesempurnaan.

Rabu, 08 Januari 2014

Simpang Tiga

Pada akhirnya kita sampai sudah di persimpangan
Akhir dari jalan yang telah kita pilih sebelumnya
Yang juga mula dari jalan yang akan tiba

Kita diam sejenak,
Mencoba mencerna semesta tentang maksudnya
Mencoba meraba semesta tentang berita di depan sana
Mengamat padang ilalang yang sempurna menutup ujung jalannya
Mengamat rimbun pepohonan dan suasana yang tersangkut di rantingnya

Kita menatap lekat papan penunjuk arah
Mencoba menelisik makna dari kata yang tak seberapa
Kita hampir tanpa peta

Kamu menunduk sejenak, lalu melepas pandangmu ke langit.
Sebuah keputusan.
Kepalmu menguat, senyummu meruak

Di simpang tiga.
Kau pilih satu jalan
Aku yang lainnya
Ini bukan pertaruhan benar-salah
Selama tuju kita sama, percaya saja tentang pertemuan di muara
Kita menuju tempat segalanya bermula

Juga...
Percaya saja bahwa 'ada' tak mesti selalu 'tampak'
Kamu pula yang mengajari
tentang arti menopang tanpa bergenggam jemari

Di akhir cerita,
Kamu akan tahu bahwa kekhawatiranmu tak nyata
Di akhir cerita,
Kamu akan tahu bahwa kita bisa lari dengan tempo yang serupa