Jumat, 09 Januari 2015

Menggenggam Kembali Takdir

Bagaimana kita mendapatkan kembali apa yang kita impikan selama ini,
bagaimana kita menjadikan segalanya sesuai dengan kondisi ideal kita,
bagaimana mengembalikan diri kita ke jalur yang seharusnya.
Mimpi-mimpi itu masih menunggu untuk diwujudkan, seperti bayi yang menunggu hari kelahirannya,
Maka seharusnya, kita juga berjuang demi kelahiran dalam kondisi terbaik.

Cinta.
Dalam banyak hal hanya mengganggu pencapaian takdir yang kita mau
Kecuali saat orang yang datang merupakan orang dengan ritme dan tuju takdir yang sama.
Selebihnya? Proporsi rasa dan cinta yang lebih banyak, ditambah -entah- keimanan yang rapuh, atau prinsip yang tak teguh, hanya melahirkan pejuang-pejuang yang layu terhempas gelombang cinta.
Membosankan.

Cinta,
dalam waktu dan proporsi yang tak tepat, hanya membawa kita semakin jauh dari takdir yang kita pilih di mula. Saat idealisme masih jadi tongkat penyangga. Saat mata kita masih melihat ke satu arah dengan optimisme yang membara.

Maka, dalam banyak misi, membawa cinta adalah sebuah kesalahan. Jika cinta yang dibawa hanya kecintaan pada sebuah sosok, bukan pada isi, tujuan, apalagi pada Dzat Tertinggi.

Takdir.
Adalah tetugas mulia yang muncul saat kita berada pada puncak idealisme. Saat segalanya tampak mungkin dan bisa. Lalu perlahan realita membawa kabar buruk ke permukaan. Memupus asa, dan menjadikan ketidakmungkinan terasa nyata.
Tapi Cinta adalah musuh takdir paling jahat. Ia datang, mempesona, dan meluruhkan satu-satu idealisme yang dibangun lama. Bahkan mengabaikan banyak hal. Nasehat dan kesadaran keimanan. Sekali lagi, bila landasan cinta itu hanya sebuah sosok, landasan yang rapuh luar biasa. Dia mengikis keimanan perlahan. Mematikan nalar, menggelapkan nurani.

Lalu apa yang tersisa?

Sementara takdir adalah tetugas mulia, yang mesti dijalankan dengan nalar yang mampu memandang jauh. Sementara takdir adalah tetugas mulia yang bisa dijalankan dengan keimanan pada Dzat Yang Maha Tinggi. Jika kedua hal itu mati, lalu apa yang tersisa?

Rabu, 07 Januari 2015

Hilang

Urus-urusan tentang cinta memang menyeret nalar dan rasa jauh dari logika. Tak selalu, tapi seringkali begitu. 
Entah bagaimana, semakin sering saya mendengar kata itu dari seseorang, semakin mati rasanya hati saya merasakannya. 
Takut. Ya, mungkin saja itu bentuk takut saya. Takut akan sesuatu yang biasa mengiringi sebelum waktunya. Begitu takut sampai khawatir salah-salah saya jadi bagian yang terseret itu.
Ada banyak kata yang saya telan. Sebagai pertahanan. Tapi beberapa waktu belakang, sepertinya sedikit pertahanan saya melemah. Pertahanan yang saya bangun hampir tiga tahun, hampir rubuh dalam beberapa hari. Lalu, setelah tahu beberapa hal, perasaan itu hilang begitu saja. Mati lagi. Saya ketakutan, bahkan sekedar untuk melihat kemejanya saja saya sudah hampir putar arah. Jadi, tarik napas dan palingkan mata, menuju mentari yang lebih meminta perhatian kita. Pada genggaman yang mulai melemah minta dikuatkan.
Saya takut, dan pilihan untuk berpaling dari semua romantisme cinta dan euforianya adalah cara saya menahan diri. Mengikat monster manja yang semakin minta dilepas seiring pertambahan usia. “Sudah waktunya” kata mereka. Tapi saya lebih memilih untuk tetap tak melihat kepada romantisme absurd. Memilih untuk tak melihat kepada janji-janji kebahagiaan yang mungkin jadi impian setiap gadis.
Ini sudah hampir 6-7 tahun sejak terakhir saya membaca cerita-cerita romance, dan yang berubah dari saya hanyalah bisa membariskan “kata itu” dalam tulisan, tapi tak pernah sanggup melisankan. Masih tak menerima, meski tak memungkiri. Saya hanya memilih untuk membuka cerita semacam itu, juga membuka hati untuk merasakannya lagi, nanti, setelah sebuah prosesi sakral di depan mata. Enggan saja memulainya dari saat ini. 
Saya masih tetap sama, menjaga semuanya tetap seperti mulanya. Tak menguncup, apalah lagi berbunga.
Meski di sisi lain juga sadar diri : Siapa saya?