Selasa, 25 Oktober 2011

Satu hari di bulan oktober

Satu hari di bulan oktober. Ini nyaris penghujung bulan. Hari dimana kau pertama kali menatap dunia. Ada tangis kecil yang laiknya malaikat bagi mereka yang menanti kehadiranmu hari itu. Bertahun lalu.
Waktu bergulir, sudah belasan kali kau mengulang hari ini. Tapi, hari ini angka belasan itu akan berganti. Siapapun tahu, ini akhir dari masa remaja. Tidak ada lagi dua digit dengan angka satu di depannya.
Hari ini kau melangkah semakin ke depan. Semakin maju. Semakin jauh. Seperti daftar mimpi yang semakin panjang, dan list pencapaian yang akan semakin banyak dicoret lagi. Perencanaan-perencanaan yang semakin mendekati tujuannya.
Pagi ini mungkin terasa sedikit berbeda. Mentari yang mungkin lebih terasa hangat dari hari kemarin. Langit yang mungkin terasa lebih cerah dari biasanya. Harapan tentang hari ini yang mungkin banyak berpilin. Dan harapan untuk hari yang akan datang.
Hari ini langit penuh. Ada do’a-do’a yang berpilin dan menguntai ke langit. Tentangmu. Tentang kebaikan untukmu di hari ini dan setahun ke depan, dan seterusnya sepanjang hidupmu. Dari orang-orang terdekatmu, dari mereka yang mengenalmu, dari mereka yang senyumnya sempat terukir karenamu. Ada yang mengucapkannya langsung padamu, ada yang belum sempat mengatakan apapun. Hari ini begitu istimewa. Karena langit dipenuhi dengan namamu yang terselip dalam do’a mereka.

Selamat Hari Lahir. Otanjoubi omedetou. Miladuka Sa’id. Happy birthday.
Atau bagaimanalah kalimatnya.
Doaku standar saja. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Semoga lebih baik dari tahun yang telah lewat. Semoga mimpimu lekas terwujud. Semoga makin bahagia. Semoga semakin banyak senyum tulus yang terukir. Semoga binar pada matamu yang dulu pernah kulihat tak pernah hilang.
Maaf, kalau ucapan ini tak seberapa berarti.

ohya, waktu lagi nyari gambar, ga sengaja nemu gambar ini.
hhe..
:p
Selamat menjelang nominal 20. Maaf tahun ini tak ada kado apapun yang bisa diberikan.
-^.^-

Minggu, 23 Oktober 2011

After Long Waiting

“Mengapa cerita pertama itu begitu sulit terlupakan?”
“Jangan berhenti, mungkin hanya tinggal satu langkah lagi garis finish-nya”
“Keajaiban itu adalah hasil dari do’a yang bertemu usaha”

And this is my story...
After Long Waiting
“Ya Allah, semoga tahun ini aku bisa ‘bertemu’ dengannya. Semoga ‘cerita’ ini dapat menemukan kesimpulannya” –sebuah do’a di awal tahun 2010—
------------------------------
  Kuningan, di salah satu pesantren di kaki Gunung Ciremai, pertengahan tahun 2010.
C.I.R.E.B.O.N
Apa? Setengah tak percaya aku memintanya kembali mengulang ceritanya.
“Ya, kemarin di pertemuan guru TK, tiba-tiba ada ibu-ibu yang nyamperin umi. Katanya ibu dari temen SD kakak yang sering kakak ceritain itu. Umi sih ga inget. Setelah dia cerita, baru umi inget kalau yang dimaksud itu orang yang sering kakak ceritain. Terus cerita-cerita, katanya sekarang anaknya SMA di Cirebon. Di pesantren apa gitu, umi lupa namanya.”
Badmood yang semenit lalu ada, tiba-tiba hilang. Aku langsung masuk kamar dan cerita ke temen-temen. Saking semangatnya, aku lupa kalau kasur asrama itu ga seberapa tinggi, dan kepala aku sukses “kenalan” ama tepi ranjang. Sakit sih, tapi ya sudahlah. Mood aku bener-bener lagi bagus saat ini.
-----------------------------------
(gunung Ciremai nya ketutup awan, gedung di ujung itu kantor Tarbiyah atau Pembinaan)

Beberapa minggu berselang setelah hari itu. Suasana kamar di hari menjelang sore itu santai seperti biasanya. Meskipun di luar berdiri gagah kantor tarbiyah atau pembinaan, tapi di dalam kamar beberapa santri sibuk bermain dengan gadgetnya masing-masing. Berkirim pesan singkat dengan santri putra di balik dinding, mendengarkan radio yang disimpan di bawah meja setrika, atau menyelipkan headset MP3 ke telinga. Aku di sudut kamar, di ranjangku, sibuk dengan MP3 dan setumpuk majalah anime, sambil sesekali mengusili teman sebelah ranjangku yang juga sedang sibuk dengan MP3 dan handphone-nya. Ya, di pondok kami barang-barang tersebut bukan barang yang legal untuk dimiliki. Sama dengan tidak diperbolehkannya keluar area pondok tanpa izin. Tapi di kamar ini, sederet peraturan itu hampir terasa tidak ada.
“Ned, gue kok tiba-tiba pengen es krim SpongeBob ya.” Gumam Nisa, teman sebelah ranjangku.
“Cabut yuk,” tanggapku santai. Masih sambil membaca ulasan salah satu anime di majalah.
“Err.. beneran nih? Tapi gue pengen sekalian ke si teteh sih.” Lanjutnya. “Lu mau ga?”
“Ayo.”
Tak butuh waktu lama untuk kita berdua siap-siap. Ini hari sekolah, jadi tidak aneh kalo ada santri yang masih keluyuran dengan seragam sekolah, yang untungnya juga seragam perizinan. Poin menguntungkan buat orang-orang yang hobi cabut, alias kabur tanpa surat izin keluar.
Karena khawatir terlalu lama di si teteh, warnet yang biasa kita kunjungi, aku dan Nisa memutuskan untuk ke si teteh lebih dulu. Saat itu aku hanya anak kelas tiga SMA yang payahnya masih hobi senang-senang dan addicted dengan game online. Tapi disamping itu, aku juga anak SMA yang hobi nyari informasi yang mau diketahui sampai dapat. Karena itu, hari ini tidak seperti rutinitas online yang biasanya kulakukan. Bukan jendela facebook yang biasa aku buka berlama-lama dan ganti status yang sudah direncanakan mau di update. Bukan juga posting puisi-puisi yang lebih tepat disebut curhat abstrak di blog yang lebih mirip buku diary.
Hari ini aku menelusuri google dengan satu keyword : Syarif Hidayat. Entah kenapa aku percaya kalau hari ini akan ketemu nama sekolah tempat dia belajar sekarang. Aku hanya punya sedikit petunjuk. Nama lengkap dia yang bisa dibilang cukup jarang, karena biasanya adalah Syarif Hidayatullah, tapi dia ‘hanya’ Syarif Hidayat. Ditambah dengan asumsi kalau semua siswa kelas 3 SMA dan sederajat yang ikut Ujian Nasional pasti dia punya nomer ujian yang terdata dan masuk ke mesin pencari ini. Sekedar mencoba-coba aku memasukkan nomer Ujian Nasional milikku, dan benar saja, sesuai dugaan, namaku muncul.
Seperti anak kecil yang menemukan mainan baru aku mulai mengetikkan namanya dan beberapa kata tambahan yang kurasa tepat. Dan dengan sabar, aku menelusuri semua hasil pencarian yang ada, entah sampai halaman ke berapa. Benar-benar seperti anak kecil yang diberikan puzzle yang jumlahnya 500 keping untuk dirangkai. Aku begitu bersemangat. Kadang, sempat ada ragu juga, “apa bakal ketemu?” setelah satu jam lebih aku berkutat dengan google itu, dan masih belum ada yang kutemukan. Tapi kemudian aku teringat, “Seringkali orang berhenti justru di saat ia tinggal selangkah lagi mencapai finish”. Memang sih ini benar-benar motivasi yang rasanya salah tempat. Tapi benar-benar terasa menyenangkan bagiku hari itu. Beberapa kali aku tersadar bahwa bibirku masih melengkung membentuk garis tipis senyuman. Dan aku tahu bahwa mataku berbinar. Entah semangat macam apa yang kurasakan, tapi rasa penasaran membuatku tak ingin berhenti sebelum menemukan dengan pasti nama dan lokasi sekolahnya saat ini. Benar-benar hal yang percuma memang. Tapi, sekali lagi, ini menyenangkan. Sangat menyenangkan.
Sudah hampir dua jam aku berkutat dengan google. Jendela facebook sudah kututup sejak tadi. Dan tanpa sengaja, aku menemukan situs entah Depdiknas atau apa. Yang pasti di sana ada nama-nama sekolah yang mengikuti Ujian Nasional. Sebelumnya, aku memastikan kalau ini situs dengan peluang yang cukup untuk memungkinkan aku melihat namanya. Pertama, aku memasukkan “Kuningan” di pilihan kota. Kota tempat pondok pesantren-ku berada. Dan aku semakin semangat saat nama pondokku ada disana, dan semakin bersemangat saat menemukan bahwa nama ku juga ada, juga nama teman-teman sepondok lainnya. Kemudian aku mengganti kota “Kuningan” dengan “Cirebon”. Ini bukan hal yang cepat ternyata. Ada begitu banyak SMA dan sederajat di Cirebon, Lalu aku ingat, umi bilang dia sekolah di pesantren, yang artinya SMA Negeri bisa dicoret. Lalu yang kedua, aku mulai berasumsi lagi, kalau orang Jakarta yang jauh-jauh sekolah di Cirebon pasti ga akan milih pesantren yang jumlah santrinya terlampau sedikit. Dengan ini, hampir separuhnya ter-eliminasi. Dan sisanya, aku periksa satu per satu.Entah, hari ini aku terlalu sabar dan semangat. Satu jam kemudian aku mulai ragu lagi, tapi aku masih enggan berhenti. Khawatir kalau justru tinggal satu sekolah lagi yang mesti kuperiksa.
Nama Syarif memang banyak. Sangat banyak, tapi hanya satu Syarif Hidayat yang aku tahu. Bukan Syarif Hidayatullah atau Syarif-Syarif lainnya. Dia yang lahir bulan Juni 1992 kalau aku tak salah ingat (bersyukur di kartu Ujian ada tanggal lahirnya juga). Oh ya, siapa orang ini? Dia teman satu TK dan satu SD ku, kita sekelas sejak TK sampai kelas 4 SD. Pribadi yang entah sudah sangat lama tampak begitu menarik. Entah dengan pakaian taqwa atau kaos biasa. Entah saat bercanda dengan teman-temannya, bermain dengan anak kecil, atau berbicara dengan yang lebih tua. Entah saat ia usil, tertawa, menyanyi di salah satu acara sekolah, atau melantunkan adzan. Hampir semua. Tapi dengan berada di satu sekolah selama delapan tahun, dan enam tahun berada dalam kelas yang sama. Sama sekali tidak membuat kami menjadi akrab. Bahkan selama itu aku hanya melihatnya dari kejauhan, terlalu pemalu dan takut untuk memulai pembicaraan. Dan sejak kelulusan SD sampai saat ini, aku kelas 3 SMA, aku belum pernah melihatnya lagi. Ini memang hal konyol. Sangat konyol. Kadang aku menganggapnya seperti mimpi anak kecil. Bahkan aku tak tahu bagaimana sifat dan wajahnya saat ini. Tapi, tetap saja aku tersenyum saat mengingat dirinya yang ada di memori masa kecilku. Tapi tetap saja, aku membuat akun di jejaring sosial hanya untuk menemukan keberadaannya. Tapi tetap saja, saat ini aku sangat bersemangat memanfaatkan mesin pencari hanya untuk menemukan tempat dia berada sekarang. Entah setelah itu bagaimana, aku hanya ingin menuntaskan rasa penasaranku. Mungkin selanjutnya aku akan mencari dimana dia kuliah, sekali lagi menatapnya dari kejauhan, atau justru menghampirinya, atau bahkan aku hanya penasaran, dan lalu perasaan itu selesai sampai di sini tanpa kelanjutan. Terserah saja.
Sambil berfikir tentang hal-hal itu, aku menemukan namanya. Tertulis jelas. Syarif Hidayat. XX Juni 1992. Ya, entah keyakinan dari mana ini memang dia. Aku sumringah. Dan langsung offline. Online hari ini sudah selesai. Nisa sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu.
Aku masih sumringah. Dadaku terasa begitu meluap-luap oleh rasa puas dan bahagia. Masih seperti itu sampai aku dan Nisa selesai membeli dan memakan eskrim Spongebob. Masih seperti itu, meskipun tiba-tiba hujan turun deras dari langit kuningan dan baju gamis hitam “kebanggaan” kami basah kuyup. Masih seperti itu meskipun sempat berpapasan dengan santri putra dengan tampang yang sama sekali tak “layak pandang”. Sangat berantakan. Masih seperti itu meskipun dua santri yang pulang “cabut” ini tak bisa melihat jelas karena hujan yang sangat deras dan kacamata berembun yang tak bisa dikeringkan. Masih seperti itu sampai kami tiba di kamar, dan sekali lagi kepalaku terantuk. Kali ini lemari. Masih seperti itu meskipun saat bersiap mandi lantai halaman kamar mandi yang kuyup (karena halaman kamar mandi tak ada atapnya) membuat keseimbanganku agak goyah dan tergores pintu kamar mandi yang dilapisi seng. Masih seperti itu, sampai malam menjelang tidur.
Hari itu, hari terbaik dalam masa kelas 3 SMA ku, dan semua teman sekamarku tahu kenapa aku begitu sumringah sepanjang hari berikutnya.
-------------------------------
Jakarta, malam hari dengan taburan “bintang di bumi” metropolitan, akhir tahun 2010.
Hari ini akhir tahun, 30 Desember. Ujian Nasional sudah berakhir sejak lama. Acara perpisahan atau yang kami sebut Haflatul Ikhtitam sudah beres sejak lama. Ijazah Depag dan Ijazah Pondok sudah rapi tersimpan di lemari. Kami sudah benar-benar dinyatakan lulus. Hanya tinggal menunggu pengumuman dimulainya masa perkuliahan. Dan itu artinya, aku bukan lagi di dalam pondok. Ya, malam ini aku tengah berkutat di rumah. Di depan laptop. Jam hampir menunjukkan pergantian hari saat satu notification facebook muncul. “Neng Chan memasukkan Anda ke dalam grup alumni SDIT NF ak 2004”
“Waah.. udah dibikin grup.” Aku mulai menelusuri nama-nama anggotanya, dan benar saja, ada nama dia disana!
Hohho.. Banzaaaiii!!!
Dengan begini, aku bisa benar-benar memastikan perasaanku akan lanjut atau selesai. Dengan senyum yang masih tersungging aku melihat fotonya satu per satu. Ya, ini memang dia. Aku masih ingat wajahnya, meskipun ini adalah versi “6 tahun kemudian”. Banyak yang berbeda dari dirinya. Tak hanya wajahnya, foto menceritakan banyak hal, karena sekedar status Facebook tak bisa mewakilkan semuanya. Dia berbeda. Tentu saja. Hari ini sudah 31 Desember. Akhir tahun 2010. Tahun ketigabelas. Dan aku tahu, tak kan ada tahun keempatbelas. Tapi aku puas. Sangat puas dengan bab ini dalam cerita hidupku.

Jumat, 21 Oktober 2011

Shining star--9nine lyric

awalnya sih iseng aja nyari-nyari lagu bagus di youtube. Trus akhirnya nemu lagu ini. Dari awal denger entah kenapa udah suka. Entah karena videonya, atau emang lagunya yang bagus. Akhirnya iseng-iseng nyari lirik dan translatenya..

Lirik : 
miageta sora hirogaru yume mirai no DOA wo akete
hikari ni taezu ima mo terasareteru

azayaka na sora mado wo akereba sosogu sunshine
kaze ni fure tara kinou no namida mo kiete

sabishiku natte itsumo mienai hoshi wo sagashite
sugu soba ni aru to kizukazu oimotomete ita
it's shining star

miageta sora hirogary yume mirai no DOA wo akete
hikari ni taezu ima mo terasaretru
hoshizora ni wa mabataku yume kazoe kirenu negai ga
ima kanau toki wo machikogare teru kara aruki dashite

wasure kaketeta ano hi egaita sekai flashback
kioku no kakera iroasezu toki wo koete

kurikaesu mainichi to yowakina boku ni sayonara
fumidaseta no nara kono te ni tsukameru kigashita
it's shining star

kimi no negai bokura no yume chiribamerareta sekai
mirai wo ima ni kae irozuite yuku
te wo nobaseba todoki sou na Star yume no tsuzuki egaite
haruka tooi sora kawaranu omoi dake shinjiteite

miageta sora hirogary yume mirai no DOA wo akete
hikari ni taezu ima mo terasaretru

hoshizora ni wa mabataku yume kazoe kirenu negai ga
ima kanau toki wo machikogare teru kara aruki dashite


 
Translate :
i looked up at the sky and the dreams that are scattered on it, as they open the doors to the future
their light never ceasing, illuminating the way even now

it's such a brilliant sky, if you open the windows what pours in would be sunshine
as the wind caressed me, yesterday's tears too disappeared
--------------------
even when i become lonely, i just have to keep looking for the stars that cannot be seen
and soon they will be with me, unknowingly they have also been searching for me too
it’s shining star

i looked up at the sky and the dreams that are scattered on it, as they open the doors to the future
their light never ceasing, illuminating the way even now
because in the starry sky there are twinkling dreams and countless wishes
that are longing for their time to come true, so keep on walking

i had a flashback to the forgotten day and how we saw the world then
a piece of my memory crosses over the never fading time
--------------------
to the repeating days and my timid self i said goodbye
because if i stepped forward, i think these hands will be able to grasp it
it's shining star

this whole world is studded with your wishes and our dreams
the future is changing its colours into the present
if you reach out your hand the Star is right there, painting the continuation of your dreams
the distant far away sky is but your unchanging thoughts, believe in it

i looked up at the sky and the dreams that are scattered on it, as they open the doors to the future
their light never ceasing, illuminating the way even now

because in the starry sky there are twinkling dreams and countless wishes
that are longing for their time to come true, so keep on walking

yang mau coba donlot videonya bisa ke sini
:D

Kamis, 20 Oktober 2011

Mentari dan Rembulan

Sekuat apapun rembulan itu berlari, kau tahu ia tetap tak kan bisa memeluk mentari.
Lalu bagaimana dengan mentari? kau tahu, dia tak pernah lelah berbagi sinarnya pada rembulan. berharap sang rembulan dapat terus indah meski tanpanya.
Aku tahu. dan tak kan menyalahkan apa yang kau yakini. Tapi kau juga mesti mengerti, tak selamanya mereka saling memantulkan. Keindahan cahaya yang kau tahu, terkadang tak seperti yang mereka tahu. Ada waktu, dimana rembulan memutuskan untuk berhenti, tanpa mentari perlu tahu.

Seperti aliran sungai, ada waktu dimana sungai mulai membelah menjadi dua atau lebih anak sungai. Mereka tak kan bisa berbalik, tak kan sanggup mengejar. Tapi setiap butir air yang mengalir itu tahu kenapa mereka akan bermuara. maka mereka memutuskan untuk tak melawan aliran sungai, mengikuti, tapi bukan pasrah. Itulah cinta yang kupahami. Ia di hati, sebuah esensi dari kepahaman mereka tentang muara cinta, sang Illahi.
Itulah, mengapa rembulan yang tak dapat memeluk mentari tak perlu berduka. Karena sejatinya muara hati adalah Illahi. Aku hanya berfikir, untuk mengarahkannya ke tempat yang semestinya. Berjalan kepada tujuan yang sama, agar pada saatnya nanti, hati-hati yang berhimpun dalam cintaNYA, karena cintaNYA, sudah pasti akan bersama, sudah pasti tanpa kecewa.
Itulah, cinta Rembulan dan Mentari yang kupahami.

.: kelar ujian Biokimia, setengah galau. Hahha..

Rabu, 19 Oktober 2011

Umi

Ini hari yang cukup berat awalnya. Ujian yang sama sekali ga ngerti, dan tidur yang cuma sebentar buat gue yang demen tidur ini. Berangkat ke ruang ujian yang aku pikirin adalah : "ntar tidur dulu ah sekitar setengah jam di kelas, baru udah gitu ngerjain soalnya." Dan durasi ujian yang gue kira 120 menit, ternyata cuma 90 menit. Ga ngaruh juga sih. Hhe.. *abaikan*

Begitu waktu tinggal 5 menit lagi gue keluar. Udah nge-blank mau ngerjain apa. Dan sambil nunggu temen sekontrakan buat pulang bareng, gue nyari posisi yang kira-kira enak buat tidur lima atau sepuluh menit lagi. Matanya bener-bener capek pagi ini. Selang sepuluh menit kemudian, temen gue itu bener-bener kelar ngerjain soal. Dengan mata setengah merem gue pulang, bus kampus belum keliatan. Karena satu dan lain hal (baca : ngirit) akhirnya kita jalan kaki. Gue masih setengah merem. Wangi kasur itu udah kebayang-bayang. Ngedadah-dadah. Berkilau. Huwaa... gue rindu kasur gue.

Tapi...
begitu gue keluar dari jalan alternatif kampus yang banyak pohon-pohonnya itu, tiba-tiba ada ibu-ibu nanya lokasi ke gue ama temen gue.

Ibu-ibu : Maaf dek, tau tempat ini ga? *sambil nunjukin kertas*
Temen gue : Oh, ibu lewat jalan ini aja *nunjukin jalan setapak yang barusan kita lewatin* nanti ada gedung warna biru, nah, gedung sebelahnya bu.
Ibu-ibu : makasih mbak. Itu masih jauh ga?
Kita : nggak kok bu. Nanti ibu naik lift aja, lantai 3 kalo di lift bu.
Ibu-ibu : wah, saya ga bisa naik lift mbak. Kalo tangga ada khan? saya mau naik tangga aja. *muka cemas* Tadi saya kesini juga katanya jauh, disuruh naik ojeg tapi saya ga biasa naik ojeg.
Kita : Ada kok bu. Ada. *mulai speechless*
Ibu-ibu : makasih mbak. makasih! *tiba-tiba kaya nangis*
Gue : eh?
Ibu-ibu : anak saya sakit mbak. ga bisa ikut ujian. *nahan nangis* makasih ya mbak.
Kita : iya bu *speechless*

terus itu ibu jalan, gue ama temen gue jalan lagi. Ngantuk gue tiba-tiba ilang. Tapi...
Akhirnya kita balik lagi, dan memutuskan buat nemenin itu ibu sampe ke tempat tujuannya. Di jalan si ibu bilang kalo ini kali pertama beliau ke kampus ini, jadi ga tau tempat-tempatnya. Makanya nanya-nanya.
Terus beliau cerita kalo anaknya udah sepuluh hari sakit. Hepatitis sepertinya. Jadi ga bisa ikut ujian, ibu itu dateng buat ngurusin izin ke dosen sepertinya. Si ibu cerita sambil nahan nangis. Untung ada temen gue, gue udah speechless dari awal denger si ibu nangis.

Begitu si ibu ketemu ama dosen yang mau ditemui, gue ama temen gue pamit pulang. Dan kali ini ada bis kampus. Lumayanlah, bisa rehat bentar ga mesti jalan di hari panas begini. Hahha..

Terus pas di bus, gue jadi mikir, kalo gue sakit pasti nyokap gue bakal nangis gitu juga kali ya. Sekarang pun, nyokap gue juga sering banget sms gue, dan gue jarang sms duluan. Sebenernya sih, bukan karena ga mau. Tapi, gue mau curhat apaan ya? Kalo curhat sakit atau capek. hal kaya gitu khan  malu kalo disampein ke orang tua. Hahha. Tapi, kalo selain itu? Masa gue curhat tentang temen? Kaya anak SD aja. Ga mungkin juga gue curhat masalah cowok. hahha.. Jadi, akhirnya gue ga bisa cerita apa-apa.
Oh iya, dan sekarang gue jadi kangen masakan nyokap gue,.
-,-a


Dan semoga, nanti gue bisa jadi ibu yang baik buat anak gue. Hahha... *abaikan*

Sabtu, 15 Oktober 2011

Dia Bernama ...

Oke, ini adalah kegalauan gue yang kalo di level ada di level rada atas. Dan akhirnya, di suatu hari bulan oktober, okelah, tepatnya jum’at 14 Oktober, gue liqo dan materinya tentang Hasad. Adamul Hiqdi wal Hasad.

Buat yang udah tahu, lewatin bagian ini. Kalo yang belum tahu, gue jelasin dikit yah. Hiqdi itu dengki dan Hasad itu iri. Got it? Jelas, dua hal ini ga baik buat kesehatan hati. Dan kata murabbiyah alias kakak mentor gue, dua bersaudara ini lahir dari rasa marah yang ga terkendali yang terus jadi dendam, dari dendam ini ujung-ujungnya muncul Hiqdi wal Hasad ini.

Tiba-tiba gue jadi inget Ao no Exorcist. Buat yang pecinta anime, tau khan Ao no Exorcist, nama lainnya Blue Exorcist. Yang ini ga usah gue jelasin panjang-panjang. Kaitannya itu anime ama materi liqo gue jum’at kemarin itu ada di hati. Weiss... maksudnya mereka sama-sama ngebahas tentang kelemahan hati. Di anime itu, diceritain tentang Paladin (Exorcist tertinggi) Shiro yang selama ini ga bisa dirasuki ama Satan, akhirnya bisa dirasuki pas si Rin (tokoh utama) ngeluarin kata-kata yang bikin Shiro ini jadi punya “celah” dalam hatinya buat dirasuki Satan. Yah, pokonya gitu. Kalo ceritanya salah-salah sedikit abaikan aja ya, yang penting intinya. Yang gue dapet dari anime itu, kita harus ngejaga biar hati kita terus bersih dan usahakan tanpa celah. Sulit memang. Tapi justru karena ada kesulitan, hidup lebih terasa manis. Ya gak?

Balik lagi ke liqo, di situ juga dibahas kalo Hiqdu wal Hasad itu ga boleh. Karena kalo diibaratkan dengan kayu bakar ama api. Pahala itu kayu bakar, dan Hiqdu wal Hasad itu api yang akan ngebakar kayu bakar tersebut. Sayang amat, pahala yang dikumpulin dengan perjuangan abis Cuma gara-gara iri atau dengki sama orang lain, yang jelas-jelas juga ga bikin kita seneng. Hmm... udah sakit, dosa pula.
Banyak yang bilang, kalo jalan ke neraka itu kaya taman bunga. Indah, dan gampang dilaluinya. Lempeng (huruf “e” dibaca kaya “e” di kata “sepatu”) kalo bahasa jepangnya mah. *oke, gue ga tahu itu bahasa daerah mana* ><

Tapi Hasad ini rupanya salah satu dosa yang bikin tidur ga tenang, makan ga enak. Senyum berat. Sesak napas. Nyeri sendi. Perut mules. Kaki kesemutan (oke, yang ini gue rada ngaco). Intinya. Ga ada yang enak dari penyakit hati yang ini.

Sekarang, tutup mata gue tulis di sini sebagian isi liqo gue, tingkatan Hiqdu wal Hasad:
Tingkat yang pertama ini isinya orang-orang yang seneng kalo nikmat yang ada pada orang lain hilang. Meskipun nikmat itu ga pindah ke dirinya, tapi dia seneng. Yang penting nikmat itu ga nyangsang ke orang yang dia sebel itu.
Kalo tingkat kedua, dia seneng kalo orang lain kehilangan nikmatnya. Tapi di sisi lain dia juga usaha buat dapetin hal itu. Ini juga ga baik, tapi masih lebih mending dibanding yang pertama tadi.
Kalo tingkat ketiga, dia ga seneng dengan keadaan dirinya, dan ada keinginan buat ada di keadaan orang lain. Nah, kalo dia ga bisa ada di keadaan orang itu, dia berharap orang itu kehilangan nikmatnya.
Yang keempat ini yang terakhir. Dia pengen kaya’ orang lain. Tapi kalo ga bisa juga, dia ga berharap orang lain iu keilangan nikmatnya. Tingkatan ini lebih ringan dari tiga tingkatan sebelumnya.
Nah, dari tingkatan-tingkatan itu, boleh lah direnungkan, di introspeksi, di muhasabah, di....yah begitulah. Gue bingung apa bahasa indonesianya yang wajarnya.

Setiap orang itu punya sisi negatif dan sisi positif, tinggal gimana kita memilih, mau memperturutkan yang negatif, atau memenangkan yang positif. Ya khan?

Tadi, waktu materi ini dikasih, satu sisi hati gue bilang, kalo gue lagi mengidap penyakit ini. Tapi, di sisi lain diri gue, ada sisi yang ga mau ngaku kalo gue emang lagi Hasad. Padahal, jelas itu Hasad. Karena gue ga bisa ikut ngerasain bersyukur tentang temen gue itu. Gue sadar ada yang ga normal ama diri gue. Tapi, pas materi ini dikasih, gue jadi ngerasa kesindir. Terus, secara alamiah gue ngebantah. Ada perdebatan singkat dalam diri gue. (oke, kedengerannya sedikit lebai. Mungkin lu juga pernah ngerasain sama. :p). Tapi penolakan itu Cuma ada di dalem diri gue aja sih, ga gue bilang juga. Defensif itu menurut gue wajar. Sulit ngakuin kelemahan diri itu kata gue normal. Tapi, terus gue mikir. Masalah hati itu yang tahu khan gue sama Yang Ngasih Gue Hidup. Toh orang lain juga ga tau, dan ga punya kewajiban buat tahu. Jadi buat apa gue boongin diri gue sendiri? Ngapain gue defensif ama diri gue sendiri? Toh ga ada yang nyerang gue khan. Kalo gue terus-terus begini, dan akhirnya jadi kebiasaan ampe tua, kualitas diri gue ga akan ningkat donk. Yang rugi gue lagi nantinya. Mendingan gue lapang dada aja nerima kalo gue emang sakit,tapi juga sambil nyari obatnya, dan jangan lupa di"minum" kalo obatnya udah ketemu.

“ada dua tempat luas dimana air banyak berkumpul. Danau atau laut. Yang apabila dituangkan segelas garam ke dalamnya, rasanya tak akan berubah. Danau akan tetap tawar, dan laut tak kan bertambah asin. Kamu boleh memilih jadi apa saja.”

Sabtu, sangat dini hari
Terbangun karena email dari MarioTeguhGoldenWays

Jumat, 14 Oktober 2011


Day Night Dreaming

Hoya!
Malam mulai temaram.
 Ya, sang siang sudah menarik selimutnya sejak lama.
Beristirahat panjang untuk bersinar esok hari.
Hey!
Nona bintang, apa kabar?
Masih setia berdiam jauh di langit sana?

Ini malam,
Meski begitu, rasanya ada kicau burung yang kudengar.
Ini kota,
Tapi ada gemericik air yang mengalir lembut.
Seperti ada sungai tak jauh dari tempat ini.
Malam ini listrik sedang tak mau kompromi,
Kota gelap gulita,
Tapi,
Ada pelangi di ruangan ini.

Ah, bagaimana aku tahu
bahkan di sini tak ada jendela.
Ya, mungkin aku hanya bermimpi.

Rabu, 05 Oktober 2011

Serpih di Sudut Lemari

sungguh,
saat kita pertama pertama saling bertemu muka. Aku tersipu malu, dan kau menunggu. Aku tak tahu apa yang saat itu ada di fikirmu.
kita terpisah beberapa meter, terhalang pohon. Tak seberapa besar memang. Tapi rasa malu berulang kali berujar, "kau tak kan cukup pantas untuknya". Aku menunduk, menghindar dari tatapmu. Jangankan rupa, kata darimu pun cukup buatku sejenak terbang.

Aku tahu kau, sebelum kau tahu aku. kita merangkai sesuatu yang akupun tak yakin maknanya. Kau disana, tanpa tahu aku. Dan aku di sisi sini, mencari kehadiranmu. Sejak awal aku tahu kau.

Aku selalu ragu tentang diriku. Bukan tentangmu. Sejauh ini, kau dan gadismu yang seperti peri. dan aku, hanya beruntung bisa mengenalmu.

Mungkin aku cukup tak tahu diri. harusnya aku merasa cukup dengan kesediaan waktumu untukku. Harusnya aku tak pernah berkata selancang itu padamu.

Lalu akhirnya, pentas yang penuh ragu ini tertutup. Aku yang menutupnya. Waktu berselang, lalu kau temukan gadismu, seorang peri lagi. Dan aku disini, menata menghapus semua yang tersisa.
Kita mulai terpisah tentang segala. Aku mulai berharap bahwa kau hanya mimpi maya yang kurangkai. Tapi, hangat tanganmu yang pernah menyapu kepalaku saat aku rapuh dulu, kadang masih terasa hangat. Di sudut lemari pun, masih ada buku dengan tulisan tanganmu sebagai hadiah tahun baru, juga gantungan kunci yang pernah kau berikan sebagai buah tangan. Sudah pecah memang. Tapi aku masih tak sanggup membuangnya.


Aku tak pernah berharap lebih sejak hari itu. Tapi kadang sakit itu bukan hal yang dapat kurencanakan. Lalu kau mulai merangkai kisah dengan gadis perimu. Aku tahu kau tak dapat menoleh ke arah lain lagi. Tapi itu tak pernah benar menjadi masalah. Aku mencoba buat dirimu baur dalam memoriku. sekedar agar kau tak merasa terganggu dengan hadirku.
kupikir aku siap. Tapi saat kau yang semakin dingin terhadapku. Tiba-tiba ada sedikit sakit yang timbul. entah kenapa, ada rasa seperti kucing yang terbuang.


Ya, beberapa lama sakit itu enggan pergi. Aku memutuskan menghapus semua tentangmu. Bahkan namamu. Kuhapus semua dari daftar teman dunia maya. Tapi nomer kontakmu sudah kadung kuhafal luar kepala. Gantungan kunci itu pun masih tak sanggup kubuang, tidak juga dengan buku yang pernah kau ukir beberapa bait puisi di halaman mukanya. Aku masih belum bisa membuangnya. Jadi, kusimpan mereka di sudut lemari yang tak tertangkap mata. Tak akan selamanya, aku hanya butuh waktu sampai semua luka itu hilang. Semoga tidak ganti kau yang marah.
Ya, aku egois memang.


Aku hanya tak ingin mengganggu.
Tak jua ingin kembali padamu.
Ini hanya serpih kenangan tentang dirimu, yang rasanya sayang kalau terhapus begitu saja.


Mungkin Tuhan mengirimmu padaku agar aku tahu bahwa hidup tak setenang air dalam bak mandi. Mungkin Tuhan mengirimmu padaku agar aku tahu bahwa hidup punya warna yang beragam.


Ya, kau memang orang pertama yang membuat riak di hatiku. Kau memang orang pertama yang melukis banyak warna di kanvas hidupku. Ya, harusnya aku bersyukur.
Lewat hadirmu Tuhan menjawab doaku dulu. "Aku ingin membuat tulisan tentang hati anak manusia"

Pesta (M)Alam

Malam itu langit bernyanyi
Terserah kau dengan cara apa mendengarnya

Pepohonan bersilangsilang rantingnya
Berkeriap keriap cari mata yang sudi menangkap geraknya
Cari telinga yang mungkin mendengarnya

Ada harmoni yang tak nikmat didengar
apalah lagi didendang

Tutup pintu rapat.
Alam tengah berpesta.
Mencari siapa yang kerap menggurat
luka yang jarang disinggung sesudahnya

Tutup jendela rapat.
Kau pemimpi!
Hidup dalam tempat sempit
yang kau kira taman firdausi

Tutup semua!
Tapi buka hati jangan lupa
Jangan picik dengan semua
Alam berhitung dengan caranya
kita kupu-kupu cahaya yang sudah selayaknya mengembara. 
mengumpulkan serpih sinar kenangan, yang akan membuat indah puzzle hidup kita. 
sederhana saja.

Senin, 03 Oktober 2011

Senja


ini cerita tentang senja.
dimana burung-burung kembali ke sarangnya

ini cerita tentang senja
saat mentari menyinari sisi bumi lainnya

ini cerita tentang senja
saat hari yang padat hampir saja berakhir

ini cerita tentang senja,
tentang cahaya pagi yang berjalan menuju gulita

ini cerita tentang senja
kau boleh mengartikannya rehat,
atau yang lainnya