Selama liburan sebulan kemarin aku
sedikit disibukan dengan kepindahan rumah. Bukan disibukan juga sih, mungkin
lebih tepat dikatakan sebagai pengalaman yang cukup berarti.
Beberapa hari setelah datang ke
rumah tiba-tiba Umi bilang kalau akhir bulan ini sudah harus pindah. Bingung,
sedikit ga percaya, aku agak acuh. Ya, rasanya seperti ada orang yang bilang
kalau ada tsunami padahal kita tinggal sangat jauh dari laut. Angin lalu. Dan
anehnya sekeluarga pun tenang-tenang saja. Beberapa hari berlalu, aku tahu
bahwa kabar itu benar.Tapi yah, mau bagaimana lagi? Bukankah hidup tetap harus
berjalan? Umi tetap menjalankan aktivitas dakwahnya seperti biasa, begitupun
Abi. Hanya saja, aku yang sudah terlanjur berjanji menemui teman di luar kota
terpaksa batal. Masa iya aku yang anak pertama lantas pergi main padahal
kondisi rumah lagi kurang stabil begini? Kalau Umi-Abi itu beda urusan, karena
sejatinya setiap kader itu milik ummat bukan?
Delapan hari menjelang
kepindahan, malam ini Umi mengajak aku dan adik laki-laki pertama aku datang ke
calon rumah baru. Tidak terlalu jauh dari rumah saat ini, tapi cukup berkelok.
Kata Umi, “Sayang grup pengajian yang sudah dibentuk disini kalau Umi pindah
jauh bisa jadi balik lagi kaya dulu,” Jawabnya saat aku bertanya alasan Umi
tetap bertahan dengan daerah disini.
Rumah kami saat ini kecil tapi
bertingkat. Di bawah untuk ruang tamu dan dapur, dan di atas dua kamar tidur
dan ruang keluarga. Rumah yang saat ini sedang kami survey juga bertingkat,
dengan ukuran yang jauh lebih besar dan lima kamar tidur. Cukup ideal untuk
proporsi keluarga kami, dan juga ada ruang untuk membuat taman bacaan. Tentu
saja harganya lebih mahal dari rumah yang saat ini kami tempati, tapi abi
enggan.
Enam hari menjelang kepindahan.
Umi memang tokoh yang cukup dikenal di tempat ini. Bagaimana tidak, sejak kami
tinggal disini hampir setiap hari rumah kami selalu ada pengajian atau liqo.
Dari anak remaja sampai orang tua. Berita kepindahan Umi juga sudah menyebar,
pun calon rumah baru. Tampaknya semua tetangga (yang juga murid Umi) kurang
setuju dengan rumah itu. Usut punya usut, meskipun rumah itu cukup “privasi”,
sudut gelap di samping rumah kerap kali dijadikan tempat “transaksi” bahkan
mengkonsumsi narkoba. Hal seperti ini benar-benar tak dapat ditolerir, apalagi
dua adik laki-laki aku yang masih SMP dan SD cukup supel. Jadi hari itu Umi dan
Abi kembali mencari rumah lain.
Empat hari menjelang kepindahan,
Alhamdulillah rumah yang kali ini Abi setuju dan jaraknya tak terlalu jauh dari
rumah kami saat ini. Rumah yang ini juga tingkat, tapi hanya dua kamar, dan
dengan sedikit pembenahan bisa dijadikan empat kamar. Ruang tamunya juga lebih
lebar dari rumah kami saat ini, jadi taman bacaan tetap bisa dibuat. Hanya saja
harganya tentu juga lebih mahal.
Rumah kami saat ini harganya dua
ratus juta dengan surat tanah yang tak pasti. Abi enggan membayar lunas sebelum
surat-surat lengkap, tapi yang punya rumah malah memutuskan untuk mengembalikan
uang yang telah kami bayarkan daripada mengurus surat tanah. Jadi kami harus
pindah akhir bulan ini. Hanya tinggal beberapa hari. Rumah yang akhirnya
positif akan dibeli harganya tiga ratus lima puluh juta. Seratus lima puluh
juta bukan uang yang mudah didapat dalam waktu beberapa hari, apalagi baik Abi
ataupun Umi memang penghasilannya tak pasti. Tapi Umi percaya kalau Allah itu
dekat. Pasti bantu. Jadi Umi bilang kalau minta itu ke Allah, karena Allah
kaya. “Uang dua ratus juta kemarin pun dari Allah (dengan perantara hamba-Nya
tentu saja), jadi sekarang Umi mau minta sama Allah aja,” katanya berulang, ini
bukan kali pertama. Kadang aku iseng bertanya, “Umi ga mau minjem?”
“Ga ah,” pasti Umi jawab begitu,
“kalau minjem nanti pusing lagi bayarnya darimana. Minta sama Allah. Tapi ga
berarti pasif. Makanya kehidupan tetap harus berjalan. Menjalin hubungan itu
ikhtiar, Umi ngisi pengajian itu juga ikhtiar, meski disana Umi ga dibayar.
Kalo dibayar manusia itu kecil, nanti mereka jadi kurang hormat, ‘khan gue
udah bayar’ nanti mikirnya begitu. Yang penting pesannya nyampe, biar yang
bayar Umi Allah aja, bayaran dari Allah lebih gede. Hahha...”
“Tapi itu semua berproses kak.
Kaya yang tadi di kantor barusan. Umi masih dibayar, segini.” Kata Umi sambil
menunjukkan isi amplopnya ke aku. “Segini itu buat makan juga udah abis. Tapi
ga apa. Nanti lama-lama Umi maunya ga usah, kaya di kantor yang satunya lagi.
Jadi kalau ga dibayar hubungan batinnya bukan antara guru dan murid lagi, tapi
jadi lebih kekeluargaan. Hubungan hati ke hatinya lebih kuat sinyalnya. Nah,
kalau kaya gitu nanti imbasnya bisa ke anak-anak Umi juga. Kaya waktu Darda di
khitan kemarin, jadi banyak yang dateng. Darda khan juga jadi seneng. Nah,
nanti kalau kakak ada acara khan juga bisa ...” lanjut Umi, mulai menggoda.
Februari, hari pertama.
Seharusnya rumah sudah kosong. Pagi ini Abi tinggal di rumah, Umi ada sedikit
urusan dulu. Tak lama setelah Umi pergi yang punya rumah datang, dengan
berisiknya memasang plang : “Rumah ini Dijual”. Ah, ya sudahlah. Sebagian
barang sudah di-pak dan dibawa ke rumah yang baru. Tapi masih sangat banyak
juga barang di rumah ini. Menjelang dzuhur Umi pulang, lalu pergi lagi sebentar
dengan Abi. Urusan rumah. Setelah dzuhur tetangga mulai berdatangan, membantu mengepak
barang dan memindahkan sebagian ke rumah
baru. Di rumah baru tersebut juga masih ada yang menempati, dan memang uangnya
belum dibayarkan, masih kurang, sementara si pemilik rumah enggan menerima
cicilan, karena uang dari Umi-Abi juga akan digunakannya untuk membeli rumah
lain. Dan yah.. jadilah untuk sementara barang-barang rumah menyebar di rumah
tetangga yang murid Umi dan di rumah orangtua Abi.
Februari, hari ke sepuluh. Sesuai
kesepakatan uang rumah sudah dibayar lunas. Masya Allah. Alhamdulillah seluruh
kekurangannya bisa tertutupi. Sepuluh hari ini kami tinggal di rumah nenek,
orangtua Abi. Abi masih tetap menjalani aktivitasnya, pun dengan Umi, liqo
masih tetap berjalan, pengajian di beberapa kantor juga masih berjalan, bahkan
kemarin sempat menjenguk adek yang masih di pondok, hanya saja pengajian
tetangga yang biasa diadakan di rumah diliburkan sementara sampai pindah di
rumah baru itu.
“Sesungguhnya
Allah bersama prasangka hamba-Nya”
Uang untuk melunasi rumah itu tak
sedikit memang. Dan Alhamdulillah terlunasi, bukan pinjaman tentu saja. Ini
bukan kali pertama aku melihat bagaimana Allah itu kaya. Bagaimana kita
meyakini bahwa Allah itu tempat meminta dan manusia sebagai perantara. Bukan
sebaliknya. Seringkali saat kita merasa sulit, hal yang pertama terpikir adalah
“Siapa?”, bukan “Allah”.
“Jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”
“Kehidupan itu mesti tetap
berjalan, Kak!” Kata Umi. Ya, Umi tetap mondar-mandir ngisi liqo, ngisi
pengajian, ngisi taklim. Abi juga tetap ngisi liqo, tetap rapat, tetap menjaga
hubungan. Padahal urusan di rumah juga tak kalah besar kalau mau dipusingkan.
Dan memang Allah pun membantu, memudahkan, menunjukkan, memberikan apa yang
dibutuhkan hamba-Nya.
Dan satu hal lagi yang menarik.
Kemarin sebelum kesini tiba-tiba ada tamu yang datang. Umi masuk ke kamar
sambil berlari-lari kecil dengan tampang sumringah, mengambil sejumlah uang,
lalu keluar lagi. Setelah Umi kembali Umi cerita kalau yang datang itu Tukang
Pos yang dulu mengantar surat dari Abi saat Abi tengah di luar negeri. Umi
pernah nadzar untuk memberikan sesuatu kepada Tukang Pos itu, dan Alhamdulillah
ternyata hari ini diizinkan untuk membayar nadzar tersebut. Aku masih belum
cukup paham, “Emang ngapain itu tukang pos kemari?”
“Nganter paket dari ibunya Kaisya
– adik(angkat)ku yang paling kecil – tadinya dianter ke rumah yang lama, tapi
katanya udah pindah ke sini. Nah kalo bagian sini itu bagiannya Tukang Pos yang
tadi datang, jadi tadi dia nyari-nyari terus ketemu disini.”
Yah, begitulah. Satu hal lagi aku
melihat bagaimana hebatnya Allah merangkai setiap kejadian agar berpilin dengan
indah, satu dengan lainnya. Sebuah “kebetulan” yang telah dipersiapkan. Mungkin
boleh jadi kalau kepindahannya berjalan lancar tanpa hambatan, kami tak perlu
menginap di rumah nenek. Dan nadzar Umi mungkin belum terbayar hari itu.
“Selalu ada hikmah
di setiap kejadian”
Mungkin hal itu yang secara sadar
ataupun tidak sadar menjadikan kami sekeluarga begitu tenang menjalani kejadian
ini. Kita hanya perlu bersabar membaca untuk mengetahui akhir dari bab yang
tengah kita nikmati.
Waw... Hidup! Sangat adventure di setiap alurnya aku suka. Cara nulisnya asik. Tapi sayang karena aku gak suka baca. Banyak ya di lewat2 dan cuma baca intinya aja :). Jangan kepanjangan lah ceritanya!!
BalasHapusmakasii disempatkan buat baca
Hapus:D
Assalamualaikum
BalasHapusSatu blog-posting yang bagus. Saya juga setuju dengan kandungan tulisan Mbak Runa.
Kalau bisa, mohon Mbak Runa meletakkan foto-foto yang berkaitan dengan apa yang ditulis agar lebih menarik. Contohnya blog-posting ini akan lebih bagus kalau ada foto rumah baru itu dan juga foto-foto lain yang berkaitan...
BTW, kalau menurut saya, dalam kehidupan ini nggak ada yang dinamakan "kebetulan". Semua yang berlaku dalam hidup ini adalah dalam kerangka perencanaan Allah. Semuanya. Tapi karena kita semua hamba Allah yang nggak tahu apa akan berlaku pada masa akan datang, maka kita gunakan istilah "kebetulan" apabila sesuatu itu benar-benar berlaku...
Dalam Islam sebenarnya sudah ada panduan apabila kita berdepan dengan sesuatu kesulitan iaitu:
"Carilah pertolongan (Allah) dengan SABAR dan SHOLAT." - Al Baqarah: 45
Sifat sabar itu amat penting karena kesabaran itu adalah kekuatan dalaman semasa kita membuat tindakan-tindakan yang positif untuk mengatasi sesuatu kesulitan itu.
Wallahualam bissawab. Dan Allah Yang Maha Tahu Sesungguhnya.
Khuda hafiz,
Wassalam Dari:
Khairul Hisham Hassan
Warga Malaysia Yang Cintakan Indonesia
Garuda Di Dada Kananku. Harimau Malaya Di Dada Kiriku.
setuju mas, pada dasarnya emang ga ada yang kebetulan.
Hapussegalanya sesuatunya sudah ditakdirkan begitu adanya..
makasii usulannya, sebenarnya pengen juga pake gambar,
tapi belum punya kamera.
hehhe..
^^"a
"Kita hanya perlu bersabar membaca untuk mengetahui akhir dari bab yang tengah kita nikmati"
BalasHapusassalamu'alaikum,
saya suka dgn kalimat di atas...
nikmat sabar menghasilkan senyum syukur :))
setuju mbak,
HapusAllah pasti menyiapkan yang terbaik buat kita
:D
ru-chan
BalasHapussemangka
semangat karena Allah
ceri
ceria setiap hari
jambu
jaga iman dalam qalbu
jeruk
jangan berbuat buruk
konsumsi buah2nya ya :D
siap!
Hapusinsya Allah di tanam juga di taman ini
:D
aku suka kisahnya,...kadang diselipin queto gitu...asik, salam ukhuwah mbak^^
BalasHapussalam ukhuwah
Hapus:D